jeritan pensil .1

121 32 7
                                        

Aku adalah pensil, berwarna kelabu dengan panjang tiga setengah centimeter, lusuh dan kotor.

Tergeletak di samping tong sampah tepat di sebelah sebuah gedung sekolah dasar. Gedung yang berisi anak-anak dari umur 6 sampai 12 tahun.

Anak-anak yang lucu. Namun, wajah menggemaskan itu berubah jadi mengerikan tatkala pelajaran menggambar tiba.

Tak akan ada yang menyalahkan wajah polos mereka, tak ada, kecuali aku.

Pensil malang yang warnanya kelabu, seperti mendung  yang bergantung, pertanda rinai hujan akan segera turun. Entah kapan, tapi aku sangat yakin akan hujan.

Tak ada yang salah dengan mata pelajaran seni bagi sekolah dasar. Suatu hari, sebelum semua kesengsaraan ini menimpaku, membebaniku yang rapuh dan lusuh.

"Sayang, ini mama berikan pensil 'baru' untukmu."

Aku tak ingat pasti, kira-kira seperti itulah ucap sang ibu pada putrinya yang berpipi chubby, menerima pemberian ibunya dengan mata berbinar gembira.

Aku yakin berada di tangan tunas seorang seniman, muda dan akan sukses di masa depan.

Kalian boleh menghina harapku yang terlalu meninggi. Yang tanpa kusadari, semakin tinggi harapan itu maka gaya magnetik akan kian berhasrat menariknya ke bawah.

Bagai baja yang dilempar ke atas, gaya tariknya akan semakin kuat, sangat kuat hingga jatuh mengenai ku dan mematahkan tubuhku tepat di tengah.

Tak ada sesal di mata gadis itu, hanya rengekan pada ibundanya untuk menyerutku.

Lagi, hari di mana mata pelajaran yang paling kusukai, yang mana melukis sebuah pemandangan. Instruksi dari pria paruh baya di depan sana, dengan nada lembut dan senyum ramahnya.

Gadis itu lekas menggenggam ku. Lalu, menggores dengan tebal. Amat tebal hingga aku merasa sakit dan berujung patah pada ujung hitam kelabu.

Kemudian, mendengus sambil menyerutku lagi dan lagi. Tak sampi di situ, kadang kala ada hari dimana aku dilempar, diperebutkan untuk sebuah permainan, di-injak, dan terakhir ... Tiga jam yang lalu aku dibuang.

Mungkin tak sengaja, mungkin tak tahu, mungkin ...

Tak ada kemungkinan!

Yang ada di depanku hanyalah kenyataan, bahwa aku sekarat. Tergeletak 'mengenaskan' di samping tumpukan sampah dalam wadah, yang mereka namakan 'tempatnya'.

Menghirup dalam-dalam bau kenyataan yang menyesakkan, bau yang menggerogoti organ dalam ku dan mencemari jasadku.

Gemuruh di langit mulai terdengar, menggelegar dengan angkuhnya. Dan aku mulai berharap akan turun hujan lebat.

Tapi hujan lebat selalu diawali dengan rintik gerimis, seperti saat ini. Gerimis yang turun dengan gemulai sedikit tersapu angin dingin yang menusuk, rasa dinginnya bagai taring nan tajam.

"Hujan ...." gumamku pelan. Walau aku berteriak sekalipun, tak ada yang bisa mendengar ku.

Tangisanku sia-sia. Dan harusnya aku tak perlu menangis, karena tak ada air mata. Tak ada lagi yang tersisa dariku.

Di tengah hujan yang membasahiku, aku hanya berpikir, bagaimana aku bisa berguna dalam seni? sedang aku yang lemah dan pendek. Tak ada seniman yang mau mempergunakanku.

Satu yang lucu, di tengah kegundahanku, aku membayangkan, kayu sepertiku mungkin berguna untuk sebuah api unggun. Walau terbakar, aku akan tetap bahagia.

Karena tubuh kecilku ikut digunakan untuk menghangatkan seseorang.

~~~

Hujan kian lebat, seperti harapanku. Angin bertiup kian kencang dan di tengah gejolak alam ini, aku hanya bisa diam tanpa menikmati.

Hambar karena hatiku yang telah remuk redam. Aku bingung dalam penantian tak jelas ini.

"Apa yang kunanti?"

Hingga malam menjelang, mengganti terang dengan kegelapan.

Orang-orang lekas masuk ke kediaman mereka. Menutup jendela dan pintu, menolak hawa dingin yang mengetuk-ngetuk.

Hujan masih turun, walau tak selebat tadi. Langit sudah menggelap dan aku masih di sini, hanya bergeser beberapa inci akibat senggolan beberapa ekor anjing yang memburu seekor kucing.

Tiba-tiba ...

Seorang pria berdiri tegap tak jauh dariku, ia menatapku. Namun, aku tak bisa melihat wajahnya secara jelas.

Ia berdiri membelakangi lampu sorot. Aku yakin jika ia seorang pria, selain tubuh tegapnya, ia berdiri mematung di tengah hujan.

"Seni."

Pria itu bergumam, dengan samar aku dapat melihatnya mengulas senyum. Berjalan tiga langkah, lalu berongkok di depanku, senyumnya masih merekah.

Aku tak tahu, yang pasti aku sangat bahagia saat ia mengulurkan tangan kekarnya.

Memungut dan memasukkanku kedalam saku jaket coklat tuanya.

Aku amat bahagia, walau aku tahu, kemungkinanya aku akan dimasukkan kedalam perapian. Namun itu lebih dari cukup, daripada tergeletak tanpa dihiraukan.

HONESTY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang