[16]Sad day's Ghibran

228 39 1
                                    

Happy Reading❤

____________🌷🌷🌷____________


Seisi kantin memandang sinis ke arah Arif. Ada juga yang tertawa, namun lekas-lekas di telan agar tidak terdengar.

"Ada apa? Kok mereka nengok gue gitu amat?" Bisik Arif lambat tapi didengar oleh ketiga teman mejanya.

Qilah yang menyadari, mendongakkan kepalanya ke telinga Arif, dan membisikkan, "Asal lo tau, nama suami Mbak Susi itu Bambang." Bisik Qilah pelan dengan nada mengerikan.

Arif terperanjat dan di detik kemudian beralih menatap Mbak Susi yang berkacak pinggang tepat di belakangnya.

Siapa yang tak kenal Mbak Susi?. Mbak-Mbak kantin terr-garang sejagat raya. Perawakkannya tinggi, gemuk, Ibunya Sunda Bapaknya Batak. Namun sehari-hari ia hidup dalam kebiasaan Batak, logat bicara dan tingkahnya pun seperti orang Batak. Setiap siswa di sekolah ini paling anti berurusan dengan Mbak Susi. Kecuali hanya berurusan jual beli makanan.

"Apa kau bilang tadi hah?" Teriak Mbak Susi sambil berkacak pinggang.

"Apa kau sebut - sebut suamiku hah?" Teriakkan Mbak Susi mengguncangkan seisi kantin.

Semua menatap Arif prihatin, Ada yang menutup mulut untuk menelan tawa, bahkan ada juga yang berani melepaskannya dengan tertawa terpingkal-pingkal.

Arif hanya tersenyum lemas tanpa dosa. Ingin ia lari tapi buru-buru dicegat Dhisty, takut jika Arif lari maka akan menjadi masalah besar.

"Maaf ya Mbak Susi, saya nggak tau toh nama suami Mbak  itu Bambang." Jelas Arif agar Mbak Susi mau menyimpan amarahnya.

Tapi Allah berkata lain, belum sempat Arif berlari, tangan Mbak Susi sudah lebih dulu menarik telinga Arif. Sehingga Arif berhasil dibuatnya meringis kesakitan sambil memegangi telinganya yang memerah.

***

Minggu pagi. Ghibran melirik jam dinding yang menunjukan pukul 8 pagi. Ia sudah mandi dan mengenakan kaos pendek dan celana selutut. Ghibran keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan malas. Ia melihat Mama melahap makanan yang siapkan Bi Minah.

Mama tampak sudah rapi, padahal hari ini minggu, biasanya Mama tak ke kantor. Ah sudahlah mengapa juga Ghibran mempedulikan Mama. Biasanya dia memang acuh tak acuh. Begitu juga sebaliknya, entah apa yang terjadi. Padahal Ghibran anak tunggal mereka.

Ghibran sampai di meja makan dan berencana akan menyantap Roti keju kesukaannya, di tambah segelas susu vanila yang sudah disiapkan Bi Minah juga.

"Makasih ya Bi, udah nyiapin sarapan." Ghibran tersenyum ramah ke arah Bi Minah, sengaja ingin menyindir Mamanya. Apakah ada seorang Mama yang tak pernah sama sekali menyiapkan keperluan untuk anak kandungnya sendiri.

Mamanya hanya menatap Ghibran sekilas, tak peduli. Apakah tidak ada rasa cemburu dari seorang Mama pada Putranya?.

Sedangkan Bi Minah membalas senyum Ghibran dan berlalu ke dapur.

Hening 2 menit.

"Ghibran." Panggil Mamanya, terdengar canggung.

"Apa?" Jawab Ghibran tanpa ada kata 'mama'.

"Kamu ikut Mama ya, kita jemput Papa di Bandara sekarang." Lanjut Mamanya.

"Kenapa harus ikut? Aku bukan anak TK kayak dulu lagi." Jawab Ghibran masih sopan. Ia sebenarnya masih sayang Mama dan Papa nya. Ia hanya ingin menunggu bukan ditunggu, untuk peduli.

"Papa tadi telfon, kamu harus ikut." Tegas Mamanya masih terdengar seperti bukan dialog antara Ibu dan anak.

"Hmmm." Ghibran hanya berdehem mengiyakan, bagaimanapun ia juga rindu masa-masa menjemput Papa saat pulang dari luar Negri. Papa sejak 2 minggu lalu di paris, ghibran juga bisa merasakan rindu.

Ghibran naik ke atas mobil di jok belakang, kali ini yang menyetir bukan Ghibran, bukan juga Mamanya, tapi Suami Bi Minah, Pak ali alias supir Papanya.

***

Ghibran menghempaskan badannya ke kasur dengan pasrah. Untuk apa ia ikut Mama tadi? Jika hanya berdiam bisu. Hanya di perjalanan pulang Papa sedikit bertanya tentang sekolah Ghibran. Ghibran hanya menjawab seadanya.

Ia juga pusing apa yang terjadi dengan keluarga kecilnya?

Benar-benar aneh, ia sering melihat keluarga di luar sana yang romantis dengan anaknya, walaupun tidak kaya dan tidak berlimpah harta.

Baginya untuk apa kekayaan berlimpah? Jika kasih sayang dan keakraban sudah pudar di dalamnya.

Vani. Hanya itu sepupu yang akrab dengannya. Ia juga melihat orang tua Vani peduli padanya. Mereka memang sangat dekat sudah bagaikan saudara kandung. Dari dulu apapun yang Vani pinta akan Ghibran turuti, asalkan bisa Ghibran sanggupi.

Apalagi saat Ghibran mendengar kabar Vani sekarang hampir frustasi dengan masalah yang dihadapinya. Tanpa pikir panjang, Ghibran pun mau saja menuruti, apapun itu.

Ghibran tersentak saat Hp nya bergetar, pesan dari Dhisty.

Dhisty
Lo lagi ngapain?

Dhisty
Woii_-

Ghibran buru-buru menjawabnya.

Ghibran
Nggak ngapa2in kok.

Ghibran
Knpa? Lo kangen gua ya? Sayang😶

Ghibran
Udah mulai suka ya sama gue?

Ghibran menjawab sambil tersenyum licik. Ia tidak boleh melewatkan rencananya sedikitpun.

Dhisty
Bangke, Paan si lo😝 sejak kapan gue suka ke lo. Yg ada tu elo

Dhisty
Gue serius Ghib. Gue mau lo ngirimin catatan yabg dikasih Pak Aris kemaren. Kayaknya cttan gue ketinggalan.

Ghibran
Siip

Bagaimanapun Ghibran harus profesional masalah olimpiade, masalah tanggung jawabnya dan kepercayaan sekolah.

______________🌷🌷🌷______________

Nantikan next chap ya
Please dong kasih vote-comment
😢😢

Salam

Rani HF

Walau Rindu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang