[25] Antara Perkemahan - kenangan

196 39 19
                                    

Happy reading❤
Jangan jadi reader silence, tidak baik :)
Tolong hargai usaha keras author

🌷🌷🌷

Nora berjalan gontai ke arah tenda putri, sebenarnya ingin rasanya ia berlari kencang, tapi lutut dan nyalinya telah lebih dulu menciut.

"Dhiis.... Qilaah.." suara serak Nora memanggil sahabatnya.

"Kenapa Nor?" Dhisty tak kalah khawatirnya dengan keadaan Nora yang bermata sembab.

"Enggak, ngga usah dulu gue ceritain...hiks hiks" Nora kembali terisak seperti bocah meminta balon di taman.

"Emang kenapa sih Nor? Lo liat hantu? Apa tikus?" Qilah ikut khawatir, namun ia tetap membawa semuanya jadi candaan.

Plakk..

Telapak tangan Dhisty berhasil menapis lengan Qilah yang tidak berdosa, mulut kejinya lah yang berdosa.

"Ini serius Qil, kayak nya Nora takut banget!" Dhisty meraba jidat Nora.

"Na- Nanti gue ceritain, tapi sekarang bantuin gue informasikan ke seluruh tenda putri, kalo kita harus siap-siap pindah ke bangunan di atas sana." Tangan Nora menunjuk kearah aula kosong yang cukup besar itu.

"Hah? Kenapa nor?" Qilah kali ini lebih serius.

"Hujan sebentar lagi datang dan kita bisa saja tenggelam disini. Karena, kata Luthfi danau disini airnya cepat naik dalam hitungan detik." Nora memejamkan matanya seperti hendak melupakan sesuatu.

"Oke, kita harus cepat." Dengan cepat Dhisty berlari ke semua tenda putri dan menyoraki instruksi sekuat suarannya.

Qilah juga berlari, tapi menggandeng Nora yang masih terlihat shock.

Alam dan teman- temannya juga sudah mengintruksikan ke semua tenda putra dan mengemasi barang- barang yang dirasa perlu untuk kehidupan di aula.

Tik...

Tiikk...

Tiik...

Rintik- rintik hujan mulai berhuyungan ke bumi. Tidak! Semakin lama rintikkan semakin deras membasahi lapangan.

Dan sekarang hujan sudah benar- benar turun. Pekikkan ratusan siswa terdengar, ratusan deruman langkah kaki menapak di bumi.

"Papa, mama, aku takut deruman langkah, aku takut sorakkan kepanikan, hiks.. hikss..."

"Tapi aku harus lawan." Lirih Dhisty pada dirinya sendiri. Ia menangis dalam hujan, menangis dalam ratusan deruman langkah kepanikan.

Dhisty berlari tak hanya mementingkan dirinya sendiri, ia membantu teman- teman yang jauh lebih panik darinya. Bagaimana tidak? 2 kilometer, bukan Jarak yang dekat dengan berjalan kaki antara lapangan Bumi Perkemahan dengan aula yang bisa menyelamatkan ratusan nyawa mereka.

BRUKK..

Badannya kini sangat melemas, lututnya terhantam jatuh ke tanah. Air matanya tak henti-henti mengguyur pipi, bagaikan hujan yang mengguyur bumi. Kepalanya berputar-putar membalikkan dan mengiyangkan memorinya tentang kejadian 10 tahun silam.

"Qu-Qumiii.. hiks.. hikss.." isaknya merintih memegangi kepala yang mengiang-ngiang.

Flashback on.

Desember 2010

"Dhisty, bangun sayang... kita harus keluar rumah sekarang."
Mama mengelus lembut putrinya sambil terisak.

Walau Rindu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang