[27] Please, Jangan Lupa!

199 41 0
                                    

Selamat membaca:)
Semoga puasanya lancar, hehe.😙
Ramadhan nggak kerasa tinggal 8 hari lagi.
Semua terasa cepat ya:( , mudah-mudahan pandemi ini cepat berlalu, agar bisa beraktivitas seperti semula.
Aamiin Allahuma Aamiin😊

🌷🌷🌷

Mama Dhisty melirik jam dinding pukul 10 malam. Perasaannya dari tadi tidak tenang, ada sesuatu yang mengganjal, tapi entah apa?

"Pa, Dhisty pulangnya besok kan ya?" Mama beralih duduk di sebelah papa dan meraih remote.

"Hmm, iya katanya." Papa mengalihkan pandangannya menatap Mama, dari aktivitas sebelumnya menonton tv.

"Kenapa?" Tanya Papa lembut kemudian.

"Hmmm, nggak tau juga Pa. Perasaan ku dari tadi nggak enak aja." Mama memfokuskan pandangannya ke Channel di tv.

Tiba- tiba terdengar bel rumah berbunyi, Sontak Papa lansung berdiri dan mengecek, karena ia mendengar isakkan suara Dhisty.

"Eh itu Dhisty kan?" Mama mengikuti Papa dari belakang.

Papa segera membuka pintu rumah, dan melihat gadis kecilnya terisak dalam keadaan lemas, berdiri pun harus dibantu Ghibran dan Qilah.

"Sayang Papa kenapa?" Papa lansung meraih Dhisty ke pangkuannya, menenangkan putrinya.

"Aku takut Pa, Hiks! Hiks!" Dhisty terisak.

Papa sudah menduga pasti ini karena trauma putrinya, Papa lansung membawa Dhisty ke kamar, sedangkan Mama mempersilahkan Ghibran dan Qilah masuk. Tapi disusul tolakkan mereka, beralasan sudah malam.

Flashback on.

Bus berhenti didepan sekolah, mereka semua turun dengan wajah ditekuk, entah kenapa, hari ini menjadi perkemahan terburuk yang mereka rasakan.

Begitu juga dengan Dhisty, Qilah dan Nora. Mereka turun dari bus. Tetapi Dhisty tetap saja terisak di pangkuan Qilah. Seperti yang Qilah tau, saat ini Dhisty pasti butuh Papa yang bisa menenangkannya, alasannya simple, karena Papanya seorang psikologi mental.

Ghibran melihat Qilah yang kesusahan menenangkan Dhisty. Ghibran menghampiri Dhisty dan tidak menghiraukan panggilan Vani yang terus memanggilnya.

"Qil, Dhisty biar gue anterin pulang." Tawarnya pada Qilah.

Qilah masih terdiam, melihat Vani dibelakang Ghibran mengomel tak jelas, sesekali menghentakkan kaki kesal.

"E-eeh iyaa." Jawab Qilah terbata- bata.

"Udah, nggak usah di liat, biarin aja." Ghibran membuyarkan Qilah, Seolah Ghibran paham apa yang Qilah lihat.

Qilah hanya menurut pasrah. Ghibran membantu Dhisty berjalan terpapah.

Vani yang melihat tetap saja menghentakkan kakinya kesal.

"Apaan sih kak Ghibran, bertindak nggak pake izin aku dulu." Vani menghentakkan kaki kesal.

"Lagian aku mau pulang sama siapa coba? Mau nelfon tante Sri nggak mungkin juga, mau nelfon siapa coba!" Vani merengek kesal, mau mengejar Ghibran pun tak mungkin, dibawa kemana harga dirinya?

Walau Rindu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang