~Jangan biarkan lama-lama, nanti basi.~
***🍒***
Dhisty mendeguk es jeruknya dengan kasar, lalu menghentakkan gelasnya ke meja kantin. Membuat separuh makhluk di kantin menatap Dhisty cengo. Emosinya sedang di ubun- ubun. Setelah ia bercerita tentang hari itu dengan Ghibran, Qilah terbahak meledek sampai terjungkal - jungkal. Alay!
"Lo ketawain, gue mutilasi lo!" Ancam Dhisty kesal.
"Abis mau gimana? Lucu tau." Tawa Qilah sampai berlinang air mata.
"Ya nggak usah ketawain gue juga, Dodol!" Dhisty menggebrak meja sekali lagi. Membuat Pak Anto yang sedang mengelap meja di sebelah hampir kehilangan jantungnya, hampir terjun bebas!
"Bodo! Lucu." Qilah mengelap matanya yang berair. Terharu.
"Gue kira lo tempat yang cocok buat hal ini, nyatanya nggak!" Dhisty melempar sisa tissue ditangannya ke wajah Qilah, geram.
"Nggak kok, Gue minta maaf, abis lucu. Kok bisanya lo bilang, kita bagaikan Pena dan kertas Babang Ghibran" Qilah menirukan gaya bicara Dhisty dan tawanya meledak kembali.
"Ya, mana gue tau! Namanya ilang ingatan, ya gue lupa. Dan gue kira dia siapa." Hentak Dhisty.
"Lo udah inget semua nggak sih? Jangan- jangan masih insomnia lo?" Qilah meraba Dhisty, sedangkan Dhisty cepat menepis tangan Qilah.
"Amnesia woi, amnesia! Kalau insomnia mah elu, Batman!" Kesal Dhisty.
Qilah membekap mulutnya, "Ho iya, amnesia." Kemudian ia menyengir sehingga melihatkan sepasang lesung pipi nya.
"Hehe maklum, nilai Matematika gue rendah!" Mulut kejinya berbicara tanpa dosa. Tangan Dhisty melayang indah ke pipi Qilah, menoyor kasar.
"Tapi kata Papa, gue nggak amnesia kok. Cuman kehilangan ingatan doang!" Dahi Dhisty berkerut polos.
"Bedanya apa Jamet? Sumpah deh, demi Kumis Pak Anto yang menjulang tinggi itu, lo kapan pinter sih?" Qilah menghadapkan badannya sepenuhnya ke Dhisty.
"Lo yang kapan pinter!" Lagi- lagi kepala Qilah mejadi korban kekerasan.
Tanpa perasaan dosa, Dhisty kabur dan melenggang menuju kelas. Sedangkan Qilah terduduk kicep menatap Pak Anto yang melotot tepat di depan mejanya.
"Aa..Ammpun Pak, maksud saya bukan Pak Anto yang ini."
Serr..
Qilah memasang langkah seribu menyusul Dhisty yang entah kemana.
***
"Dhisty tunggu woiii..." Qilah berlari dengan nafas tak beraturan, mengejar Dhisty yang sedang melenggang di koridor.
"Jamett! Tunggu.." Qilah akhirnya berhasil menyusul Dhisty dan mensejajarkan langkahnya dengan Dhisty.
Bukan karena Qilah berlari kilat, tapi memang karena Dhisty berhenti tiba- tiba. Qilah cukup kaget.
"Tumben si Jamet mau dengerin gue, biasanya budeg!" Omel Qilah.
Qilah terkejut melihat Dhisty yang sudah tersedu berlinang air mata, menangis dalam diam. Sumpah ini alay:(
Qilah memegang pundak Dhisty, "Lo kenapa si Met?" Tanya Qilah ngawur.
"Mat Met.. Mat Met.. gue bukan Jamet.. hiks hikss.." Dhisty kini menangis kejang seperti balita mencari Mama.
"Ya ampun Dhis, lo segitunya gue panggil Jamet? Kalo nggak suka bilang! Nggak usah kejeng juga." Qilah ikut terharu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walau Rindu (Tamat)
أدب المراهقينGhibran, laki- laki yang sulit membuka hatinya tiba- tiba terjebak dalam permainannya sendiri? Dhisty, perempuan penjaga perasaanya itu merasakan perubahan sayang jadi sakit? Bisakah mereka bersatu? Apa yg terjadi? ikuti sampai habis ya Jangan sim...