[42] Ending 1

331 32 4
                                    

Part menuju ending gaysss...

Mama sudah tak terhitung kalinya ia mondar mandir tak jelas, air matamya bercucuran.

"Pa, gimana sih Pa? Masa belum juga ditemuin posisi anak kita, kan udah hampir sejam dari tadi lho."

"Ini ini, bentar lagi."

"Benar ya Pa?" Tangisan Mama tak jua berhenti.

"Nah ini," Papa menunjuk layar monitor di hadapan mereka.

"DANAU?" Teriak mereka berdua serentak.

"Paapaa.. hiks, jangan bilang Dhisty lakuin yang enggak-enggak Pa," tangis Mama.

"Kita kesana sekarang! Temen Papa kuga udah on the way kesana." Tukas Papa.

"Cepetan Paa,"

Mereka berdua melaju membelah jalanan, menuju lokasi seperti yang terlihat di layar monitor.

****

"Qil, Mama udah share lokasi Dhisty." Teriak Nora.

"Dimana?"

"Danau?" Tanya mereka serempak.

"Ngapain tu anak? Jangan bilang dia lakuin hal gila!" Tutur Qilah sambil menginjak kuat pedal gas.

Mereka tiba di danau, mereka kalang kabut menanyakan apa ada yang melihat Dhisty sebelumnya.

"Ini gimana? Dhisty kemana sih?" Nora panik setengah mati.

"Nah itu Mama sama Papa." Tunjuk Qilah.

"Mamaa.. gimana Dhisty?"

"Hp nya mati, tandanya udah menghilang, dan kita gatau Dhisty kemana." Jelas Papa.

"Yang pasti, sepertinya Dhisty bukan tenggelam." Lanjut Papa, sedangkan Mama hanya menangkup lemas.

"Jadi Dhisty kemana Pa?"

"Kita belum bisa lapor polisi, kan belum 24 jam." Ujar Papa.

Ponsel Mama berdering, "halo?"

****

"Tunggu Dhis," Ghibran serak meneriaki Dhisty.

Dhisty sama sekali tak mempedulikan Ghibran, air matanya bercucuran melangkah meninggalkan Ghibran, yang sejujurnya masih sangat ia sayangi.

"Gue mohon, tunggu." Ghibran terpapah berjalan, suhu badannya yang tinggi membuat pandanganya kabur dan memutih.

Dhisty menaiki Taxi, menenteng kopernya. Ghibran sedikit berlari menuju  mobilnya yang terparkir. Mengejar Dhisty yang sudah meninggalkannya.

Dhisty selesai mengurus jadwal terbangnya siang ini ke Jepang 2 hari terakhir ini ia sibuk mengurus beasiswanya ke Jepang. Ia yakin, ini satu-satunya cara melupakan semua kenangan pahitnya di Indonesia.

"Pa, Ma, Aku minta maaf, belum bisa jadi anak yang baik, belum bisa bahagiain kalian berdua." Ujarnya berlinang air mata.

"Aku yakin, ini jalannya. Lagian aku udah mati-matian cari beasiswa ini." Tangisnya semakin deras.

"Dan nggak mungkin juga akan ku lepaskan beasiswa berharga ini, hiks.."
Ia terduduk lesu di bangku Bandara Soekarno-Hatta

Ia menelungkupkan tangan kecil di wajahnya, tak mau berlarut-larut dalam kesedihan ini. Sewaktu-waktu kita akan  berpisah jua.

"Ha-halo?" Ghibran berucap serak.

"Lo dimana Ghib? Kok lemes banget?" Panik Luthfi di seberang sana.

Walau Rindu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang