[33] Paksaan Tanpa Kehangatan

199 38 1
                                    

~Nggak bikin kecewa? Selama ini justru Aku yang kecewa.~

VOTE
VOTE
VOTE
FOLLOW
FOLLOW
FOLLOW
^^
heheh
Kalo lupa, baca next sebelumnya dulu:)

Dhisty melempar asal ponselnya ke meja belajar, lalu ia menggerutu kesal. Tak lama ia mulai tersenyum dan memukul - mukul bantal, benda tak bersalah di hadapannya.

"AAA... Aku, gemesh deh," Tawa Dhisty seketika pecah dan kembali memukul - mukul bantal.

***

Ghibran melajukan mobilnya ke rumah arif, weekend panjang ini akan diisi-nya dengan bersenang - senang.

Ghibran memainkan jarinya mengetuk- ngetuk kemudi sembil memperhatikan ramainya jalanan Kota Jakarta. Ia teringat bayangan Dhisty tersenyum lebar ke arahnya, sambil memegangi ice cream choco dan menjilatinya nafsu.

Ada secuil rasa bersalah muncul di bayangannya, tapi lebih tak tega melihat Vani meronta kesetanan saat1 tahun yang lalu.

"Maaf," lirih bibirnya, getir berucap.

Lalu ia menancap pedal gas kuat sambil sesekali memukul kemudi, membuat mobil cepat membelah jalanan yang ramai.

Ghibran berhenti di sebuah rumah, sederhana. Berpagar coklat, agak lusuh. Tapi dipenuhi tanaman bunga berwarna warni, terdapat sebuah ayunan kursi panjang dari kayu yang menambah kenyamanan setiap kali Ghibran berkunjung.

Senyumnya terangkat, kala melihat Zubaidah-- Ibu Arif yang ramah, baik hati dan peduli. Tentunya Ghibran ingin merasakan sosok Mama yang hangat seperti Ibu Arif.

Wanita paruh baya itu tersenyum, menghampiri Ghibran. Sambil memegang ember penyiram bunga - bunga nan indah mekar.

"Silahkan duduk dulu Ghibran," ajak Bu Idah ramah.

Ghibran ikut tersenyum ramah.

Tak lama Arif datang sambil bersiul, dari dalam rumah.

"Wazzap bruhh..!!" Tutur Arif sok gaul.

Refleks Bu Idah menampoli bahu Arif, "Sapa yang bener." Hardik Bu Idah.

Ghibran hanya bisa menatap kehangatan antara Mama dan Anak di hadapannya. Memang bukan sesuatu yang istimewa, tapi Buktinya Ghibran tak pernah merasakannya. Buat apa kaya dengan berlimpah harta berlian? Sedangkan keluarga terasa ada dan tiada.

Arif tersenyum getir kearah Ghibran, kali ini bisa ditebak, bahwa Arif cukup faham dengan keadaan. Ia lansung merangkul bahu Ghibran mengajak duduk di ayunan.

"Kesininya lo nggak bilang sih..!!" Ejek Arif asal.

"Emang kalo gue bilang, lo mau apa?" Ghibran mendesis kesal.

"Engg-- enggak ngapa - ngapa gua mahh." Cengir Arif polos.

"Kirain mau nyambut pake tari piring, shit." Ghibran betcicit pepan, namun terdengar.

"Tari piring pea lu, Lo pikir Mak gue guru nari? Ngaco lo.!!" Arif menarik gitar coklatnya dan memetik senar perlahan, sehingga menciptakan nada damai.

"Berisik!!" Ghibran memukul kepala Arif kasar.

"Parah lu mah, rumah gue! Kenapa lo ngatur?" Sewot Arif tak berniat membalas.

Ghibran kembali diam, pandangannya tak terbaca.

"Mau ngapain lo kesini?" Tanya Arif.

"Mau minta duit," tutur Ghibran pelan, nada ngaco.

Walau Rindu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang