[28] Layaknya Pena Dan Kertas

188 38 2
                                    

~Layaknya Pena dan Kertas, saling menyempurna. Jika tidak, terbuang!~

Happy Reading ;)

🌷🌷🌷

Satu minggu sudah Dhisty terbaring lemah di kasur. Tak ada yang ia ingat selain Papa, Mama, dan para pekerja di rumahnya. Bahkan, ia masih saja lupa dengan Qilah. Seringkali rasa sakit menyerang kepalanya. Papa khawatir pada Dhisty, terakhir Dhisty menderita hal yang serupa 3 tahun yang lalu.

"Papa.." lirih Dhisty lemah.

"Hmm," sahut Papa ikutan pelan.

"Dhisty kenapa belum ingat semuanya? Kenapa orang-orang yang datang semua nuntut Dhisty inget mereka?" Suntuk Dhisty dengan tanya yang beruntun.

"Dhisty yang sabar ya!, karena mereka semua sayang kamu. Nggak ada yang sudi jika kamu lupain mereka," Papa menjawab lembut, sambil mengusap rambut putrinya.

"Emangnya sepenting apa mereka di mata Dhisty? Kalo Dhisty lupain mereka, mereka bakal sedih ya Pa?" Tanya Dhisty lagi.

"Asal Dhisty tahu, mereka semua sumber kebahagiaan kamu setelah Mama dan Papa."

"Tentu saja mereka sedih, karena dilupain sama tuan puteri cantik seperti kamu." Papa menggoda Dhisty sambil mencubit kecil hidungnya.

Dhisty meringisi hidungnya, dan kemudian hanya mengangguk ria dengan jawaban Sang Papa.

Yah.. mereka yang dimaksud Papa adalah teman- teman yang merindui Dhisty. Mereka selalu berkunjung menemui Dhisty.

"Thanks Papa," Dhisty bergemetar.

"For?" Tanya Papa lagi- lagi menggoda.

"For everithing Pa." Jawab Dhisty tersenyum dan berhasil menumpahkan buliran hangat, dan membentuk sungai kecil.

"Tuan puterinya Papa jangan nangis! Nanti cantiknya  luntur." Papa mengusap air mata Dhisty.

"Iya Papa." Dhisty terkesima dan bangga dengan perlakuan Papanya. Ia menangis bukan bersedih, bahkan ia sangat merasa beruntung karena banyak di luar sana mereka yang tidak mempunyai Ayah.

***

Kenop pintu berdecit, Dhisty mendongak melihat siapa yang datang. Ia tentu terheran siapakah dia? Pasti seseorang orang yang juga berarti baginya.

Dhisty tersenyum merekah melihat kedatangan pria itu. Ia hanya ingin semua mereka yang datang tidak kecewa karena Dhisty melupakannya. Untuk itu Dhisty harus tersenyum, pesan Mama.

"Haii.." sapa Dhisty duluan.

Orang itu hanya sedikit kaget, apakah Dhisty mengingatnya?

"Oh, Hai!" Balas orang itu, Ghibran.

Ghibran berjalan mendekati dan duduk di kursi samping ranjang. Dhisty memang hanya dirawat di kamarnya saja. Papa takut jika di rumah sakit akan membuat Dhisty tambah tertekan.

"Hmm, nama?" Seperti biasa, setiap manusia yang datang akan Dhisty tanyai nama. Meskipun sudah puluhan manusia itu datang.

Walau Rindu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang