[38] Masalah

181 33 0
                                    

Hei you♡
Vote yang banyak ya ^^
INSYAALLAH PART INI SERU BUAT KALIAN YA:))

☔☔☔☔

Dhisty menelungkupkan wajahnya yang sembab di atas bantal, menangis sejadi-jadinya sejak sepulang sekolah. Ia  tak peduli dengan tampilan acak-acakannya sekarang. Piyama kebesaran milik Qilah, rambut yg terlepas dari kepangan kudanya, mata memerah, dan wajah yang penuh air mata.

"Udah dong, Dhis. Jangan nangis ya, gue kasian liat lo." Qilah duduk di tepi kasur dengan khawatir.

"NGGAK USAH GANGGU, GUE LAGI NENANGIN DIRI. GUE NGGAK SEDIH KOK." Bohong Dhisty.

"Lo nangis gitu, masa gak sedih?" Heran Qilah.

"Enggak kok, mana ada gue sedih. Gue tau dia cowok paling berengsek, makanya gue nggak mau sedih karena dia," rengek Dhisty, sorot matanya jelas sekali menampakkan kesedihan, tapi ia mencoba tidak terlihat sedih.

Drtt... Drtt..

Ponsel Dhisty bergetar, tanda panggilan masuk. Dhisty mengecek, itu panggilan dari Mama. Dhisty melihat jam sudah pada angka 6, pantes saja Mama khawatir.

Dhisty menodongkan ponsel ke Qilah, "bilang gue lagi tidur. Kecapekan abis belajar kelompok," bisik Dhisty.

Qilah menyorot mata Dhisty lama, mencari keyakinan.

Qilah mengangguk.

"Assalamualaikum Dhis,"

"Waalaikumussalam Ma, ini Qilah Ma." Jawab Qilah.

"Ini Qilah, Dhisty mana?" Tanya Mama khawatir.

"Anu Ma, Dhisty ketiduran, abis belajar kelompok Ma." Qilah menutup mulut, ia telah berbohong.

"Owh yaudah deh, bilangin Dhisty nanti, jangan telat makan." Pesan Mama.

"Siap Ma,"

Panggilan tertutup, Qilah melepaskan nafas tercekatnya. Ia melihat Dhisty yang kini diam, menyorot kosong ke depan. Sangat tragis dan menyeramkan.

******

Ghibran masih terduduk di kursi luar ruangan Vani, melihat Vani yang yang masih tertidur lemas, dengan keadaan yang makin memburuk. Ia membenamkan wajah dalam-dalam di telapak tangannya. Menahan semuanya, di satu sisi ia tak rela melepas Dhisty, apalagi ia sedang larut dengan kepedihan semua itu. Di lain sisi ia iba dengan sepupu satu-satunya, yang tersiksa dengan penyakitnya, gangguan mentalnya.

Ghibran melihat jam dinding pukul 7 malam, ia tetap stay menunggu orang tua Vani dari Bandung, ia yang berbuat ia harus bertanggung jawab. Bagaimanapun ia tak bisa meninggalkan Vani disini seorang diri di sini.

Tak lama, terlihat orang tua Vani berjalan sedikit berlari ke arahnya, sangat jelas kepanikan dan kekhawatiran di bola matanya.

"Ghibran, Vani gimana?" Tanya Bunda Vani tak sabar.

Ghibran hanya diam menggeleng.

"Bunda minta maaf ya Ghib, baru dateng. Bunda banyak meeting tadi." Bunda merasa bersalah.

wanita paruh baya itu berlari ke dalam ruangan Vani. "Vani, sayang kamu gak papa?" Rengek wanita itu.

Vani masih saja tertidur lelap, mungkin karena efek banyak obat-obatan. Raut wajah kelelahan tersirat di wajah Bunda Vani.

"Bunda," Ghibran menyusul keberadaan Bunda Vani.

Bunda menoleh tanpa menjawab.

"Ghibran izin keluar sebentar ya," pamit Ghibran.

Walau Rindu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang