Bab 2 Menerima Nasib

127 9 0
                                    


Suatu ketika setelah bertarung, dalam gang yang gelap menuju jalan besar, Syam menyadari beberapa orang yang mengikutinya.

"Tuan muda. Datuk mencarimu," ucap salah seorang dari mereka.

"Katakan pada Datuk, aku tak ingin bertemu dengannya."

Para penguntit itu saling memberikan isyarat dengan mata.

"Tuan muda, Datuk mengizinkan kami untuk membawamu secara paksa."

Syam langsung siaga, "Benarkah?" tantang Syam dengan angkuh. Ia yakin bisa melepaskan diri dari mereka.

"Maafkan kami tuan."

Mereka langsung menerjang Syam.

Selagi Syam bertahan dan melawan, sekilas ia dapat melihat para penyerang yang dapat merubah matanya menjadi mata harimau. Ia tahu mereka bukan manusia biasa dan terbukti mereka tidak begitu mudah dikalahkan. Gerakan mereka lincah namun kuat dan bertenaga. Dengan susah payah akhirnya Syam berhasil melepaskan diri dari mereka.

Bosan bertarung, ia berkelana ke berbagai penjuru dunia, mendaki gunung dan mengarungi lautan. Membiarkan dirinya tersesat, lalu berteriak sekencang-kencangnya untuk melampiskan emosi yang tidak bisa diungkapkan dengan curahan kata-kata maupun air mata. Ia menyerahkan nasib sepenuhnya ke Yang Maha Kuasa.

Berada dalam hutan rimba yang dipenuhi binatang buas dan dengan cuaca yang tidak menentu, membantu Syam melupakan keanehan yang dialami, malahan membantunya untuk menikmati keistimewaan dalam dirinya. Ia sanggup bertahan dalam hutan dengan teknik pertahanan diri yang pernah dipelajari di sekolah. Apalagi sebagai seorang cindaku, ia memiliki kemampuan fisik yang mencengangkan, yaitu tenaga yang besar, kelenturan dan keahlian memanjat seperti kucing. Ia mampu bergerak cepat dan berlari kencang. Keseluruhan panca inderanya menjadi lebih sensitif, terutama penglihatan, pendengaran dan penciumannya.  Ia berpotensi menjadi mesin pembunuh yang mematikan.

Walau sudah berkelana, tetap ada satu tempat yang selalu ia hindari, yaitu Pulau Sumatera. Ia benci pulau itu, bahkan sangat membencinya. Karena tempat itu adalah asal muasal harimau yang berdiam di dirinya.

Saking bencinya akhirnya Syam pergi ke pulau Sumatera, bermaksud mencari dan menantang harimau Sumatra itu sendiri. Tetapi keberadaannya di Pulau Sumatera akhirnya membawanya pada takdirnya sendiri.

Datuk Wusang Sati berhasil menemukan Syam dalam pekatnya malam di hutan Sumatera.

"Saya telah mencarimu dimana-mana. Terakhir ku dengar kau berada di Alaska."

Syam diam saja. Ia masih menyembunyikan dirinya di antara pepohonan .

"Syam, please come out, don't hide yourself from me. I know where you are. Stop hiding from me. You and I are the same, we're cindaku."

Suara pamannya begitu menusuk dadanya. Kata "cindaku" terngiang –ngiang di telinganya.

Syam akhirnya keluar dari sela-sela pepohonan. Kegelapan menyembunyikan duka di wajahnya.

Datuk Wusang tersenyum lebar.

"Kamu tidak tahu betapa bahagianya diriku melihatmu keponakanku. Kamu tampak sehat dan kuat."

"Really?" tanya Syam dengan sinis.

"Kamu adalah keponakanku satu-satunya dan you are the young prince," jawab Datuk.

Syam langsung tertawa, namun terdengar hambar.

"Hah! From where? United Kingdom? Or..or.. disney world?" tanya Syam dengan sinis.

Datuk Wusang menghiraukan pertanyaan Syam.

"Ayahmu telah menitipkanmu kepadaku. Aku berjanji akan menjaga dan membimbingmu."

Syam menggeleng-gelengkan kepalanya.

"I am not a kid anymore. I can take care of myself."

"Kamu harus tahu untuk menjadi seorang cindaku."

"Guess what? I don't want to be cindaku," tantang Syam sambil melipat tangannya di dada.

Datuk Wusang memegang bahu Syam, memaksakan kedua mata Syam menatap matanya.

"Dengar anakku, menjadi cindaku bukan merupakan kutukan, melainkan anugerah dari Tuhan. Dunia ini akan terbentang luas, jika kamu menerima nasibmu, kehidupan yang sebenarnya baru dimulai."

Syam kembali tertawa lepas, bukan karena bahagia tapi sebaliknya ia merasa pedih.

"Datuk, please don't entertain me."

"Aku bukan menghiburmu, anak muda. Aku ingin menyadarkanmu. Bangsa kita lebih superior dari manusia dan harimau. Percayalah kehidupanmu akan jauh lebih menarik sebagai cindaku."

Datuk merangkul Syam, "Ayo ke rumahku, keponakanku. Kamu butuh istirahat."

Syam menarik napas panjang sambil berpikir. 

Sudah dua minggu ia berada di hutan Sumatera, tanpa melakukan apa-apa.

 Akhirnya ia mengangguk dengan ajakan sang Datuk. 

Syam tidak berdaya menolak jati dirinya, apalagi ia penasaran dengan kehidupan baru yang ditawarkan. Ditambah tubuhnya yang sudah lelah untuk membantah pamannya.

Datuk pun tersenyum puas.

Courage and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang