Bab 10 Asiah dan Mehran

107 8 0
                                    

Edi agak kaget, dihadapannya seorang pemuda yang lebih tua dan tinggi memberikan tatapan tajam.

"Siapa kamu?" tantang Edi.

"Teman mereka," jawab Kalif singkat.

Edi mendengus tak percaya.

"Dia memang teman kami," sela Arul sambil menepuk pundak Kalif.

Edi mundur selangkah dengan waspada sambil melihat postur Kalif yang tegap dari ujung rambut hingga kaki.

Lengan baju kalif yang digulung memperlihatkan otot tangannya yang terlatih, membuat Edi sadar Kalif bukan tandingannya.

"Saya rasa kamu harus segera pergi, sebelum perbuatanmu tadi berbalik ke arahmu."

Edi cengengesan, "Baik, baiklah."

"Aku hanya ingin ngobrol baik-baik dengan Aika, tak ada niat jahat," ucapnya dengan meyakinkan.

"Aku sedang tak ingin ngobrol dengan mu" sela Aika.

"Kamu dengar itu?" lanjut kalif pada Edi.

Edi menghela napas menyabarkan dirinya. Ia tahu harus mengalah.

"Ok, ok aku akan pergi..." tanggap Edi setengah hati.

Setelah Edi melangkah pergi, Flora langsung menepuk punggung Arul.

"Kamu seharusnya berlatih bela diri juga! jangan pelihara hewan saja, supaya bisa meladeni Edi."

Arul mengusap-usap kepalanya sambil nyengir, "Baiklah, nanti aku berguru pada Kalif," balasnya sambil melirik Kalif.

"Kamu mau menerima Arul sebagai murid kan?" tanya Flora  memohon pada Kalif sambil mengatup jari -jari tangannya.

"Ia harus menjadi bodyguard kami berdua, jika kamu tidak ada."

Aika pun ikut-ikutan memohon pada Kalif dengan menganguk padanya.

Kalif tertawa geli, "Asal ia bisa belajar cepat, aku enggak keberatan."

"Jangan khawatir, walaupun badannya agak ceking, tapi ia pintar."

"Aku enggak ceking," protes Arul tersinggung. Aku langsing."

Aika tersenyum geli.

"Terserah kamulah," balas Flora enggak ambil pusing."

"Oh ya, aku dengar dari Kirai, kamu ke Pesantren Bukik," singgung Arul pada Kalif.

Kalif mengangguk.

"Apakah kini kamu tahu orang-orang yang menyerang kita dulu?" tanya Arul pada Kalif.

"Mereka adalah suruhan Datuk Wusang Sati," jawab Kalif.

Mata Arul terbelalak, "Apa? Datuk Wusang Sati? Kenapa orang terhormat seperti dirinya mau berbuat seperti itu?" sambung Arul lagi.

"Datuk itu adalah keturunan Datuk Bidam Batuah dan juga seorang cindaku."

Dahi Arul langsung mengerut.

"Cindaku adalah mitos. Tuduhanmu kepada Datuk Wusang Sati sangat berbahaya!" potong Arul sengit.

"Aku percaya adanya cindaku," potong Flora, "Ayolah Rul, sebelumya kamu juga mengatakan demikian mengenai pelindung," sambung Flora sambil menyenggol lengan Arul.

Kalif kembali serius, kedua tangannya terlipat di dada, "Mereka akan segera menunjukkan diri. Cepat atau lambat, kita semua pasti akan bertemu dengan cindaku."

Raut wajah Arul langsung berubah. Nyalinya mulai menciut. Dalam benaknya, ia mulai membayangkan rupa menyeramkan makhluk itu.

"Dan Syam, apakah ia cindaku pula?" sela Flora.

Courage and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang