Bab 6 Inyiak Kurai

122 10 0
                                    

          Jalan menuju Pesantren Bukit yang terletak di punggung Gunung Sago cukup jauh.   Kalif harus terlebih dulu menuju kota Payakumbuh  yang  berada di hamparan gunung ini. Setelah turun dari kendaraan umum, ia  harus berjalan kaki menembus  hutan perbukitan, melewati petak-petak sawah dan mengitari lembah seharian. Sekitar jam tiga  sore hari, ia  baru sampai di desa  terdekat. Setelah tiba di desa  ini, ia   harus mendaki sebuah bukit lagi. Gurunya memang sengaja membangun pesantren di  tempat terpencil untuk melatih kebulatan tekat para murid menimba ilmu darinya.

         Selain ilmu agama dan budi pekerti, para murid pesantren juga dididik ilmu dasar  seperti matematika, ilmu alam dan ilmu sosial. Para murid juga disibukkan dengan berbagai aktifitas seperti bercocok tanam, beternak, dan mengolah kayu. Bahkan mendaur ulang sampah non-organik pun dijadikan aktifitas bermanfaat. Gurunya juga mengajari dasar ilmu silat. Namun tidak semua muridnya yang  diajari silat tingkat tinggi. Hanya murid-murid pilihan yang mempunyai kepribadian yang baik, emosi yang stabil serta keyakinan yang mantap.

         Setelah tiba di pesantren, Kalif mencari-cari  sang guru. Di sebuah  mesjid kecil yang berdiri tak jauh dari Pesantren, ia  berpapasan dengan dua  orang anak laki-laki yang pasti merupakan murid pesantren gurunya. Mereka  sedang menyapu halaman mesjid. Umur mereka masih sekitar sebelas  tahun.

        "Adik, Inyiak ada dimana?" 

"Guru  sedang berlatih di tepi telaga," jawab salah satu dari mereka.

Kalif mengangguk mengerti telaga yang dimaksud.

" Beliau akan datang kira-kira satu jam lagi. Kakak tunggu saja di sini," ungkap  anak itu.

"Saya akan ke sana. Saya tahu di mana tempatnya."

Ekspresi keheranan terbayang di wajah murid itu karena lokasi telaga itu  tersembunyi, tidak banyak orang yang tahu.

"Kakak  pernah belajar di sini?" tanya murid yang kedua.

Kalif hanya tersenyum menanggapinya. Ia lalu   melanjutkan perjalanan menuju telaga yang letaknya di bahu bukit sebelah barat dan berjarak sekitar dua ratus meter dari pesantren.

         Tiba di sekitar telaga, Kalif langsung melihat  beberapa orang murid pesantren yang masih muda   sedang berlatih dasar-dasar  silat. Mereka dipimpin oleh gurunya yang sering dipanggil Inyiak Kurai. Inyiak Kurai, walaupun usianya telah lebih dari enam puluh  tahun,  gerakannya  masih sangat gesit dan lincah. Ia  mencontohkan gerakan-gerakan yang  mantap dan bertenaga. Pinggangnya bergerak memutar dengan fleksibel, membantunya memberikan dorongan yang bertenaga pada setiap pukulan tangannya. Semua gerakan   mengalir dengan indah.

        Sang guru menyelingi dengan nasehat  singkat pada setiap gerakan . Ia mengingatkan para muridnya untuk, tidak mencari musuh dan berbuat onar. Mereka juga mempunyai kewajiban untuk menghormati alam pemberian Tuhan.

Setelah dilihatnya latihan selesai, Kalif  menemui Inyiak Kurai.

"Assalammualaikum!"

Inyiak Kurai tersenyum melihat Kalif dan menjawab salamnya, "Waalaikum salam."

Keduanya lalu duduk bersila di sebuah saung kecil tidak jauh dari tempat latihan. Dari jarak dekat, Kalif baru dapat melihat wajah gurunya itu dengan lebih seksama. Lipit di sudut matanya bertambah, rambut di kepalanya mulai menipis, tapi berat badannya tetap stabil, tidak terlalu kurus maupun gemuk.

"Sehat guru?"

"Alhamdulillah. Saya memang menunggumu. Tolong ceritakan kembali apa yang telah terjadi dan mengenai gadis itu."

Inyiak Kurai dari dulu memang tidak suka berbasi-basi.

Mulailah Kalif menceritakan segalanya dari awal, dimulai saat Syawal yang mengamuk, hingga penyerangan terhadap Aika di Jempatan Limpapeh.

Courage and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang