Bab 12 Penguntitan di Labirin

107 9 0
                                    

Di hari pertama liburan sekolah,  Aika bangun di pagi hari dengan perasaan yang berbeda. Mungkinkah karena  kematian ibuku  yang sedikit terkuak, pikirnya dalam hati. Dengan apa yang telah dialaminya, ia merasa telah belajar menghadapi kehilangan dan kesedihan.  Kehidupan tetap berlanjut,  ia harus terus bergerak maju.

     Aika  membuka pintu beranda  kamar tidurnya. Sinar matahari  yang memecah cakrawala langsung menerobos masuk ke dalam kamar.  Saat  menghirup udara pagi segar,  udara yang jernih seketika  mencerahkan suasana hatinya yang kelabu kemarin.  Aika kini merasakan kedatangannya di kota ini adalah untuk mengetahui sebab-sebab kematian ibunya.

      Kemudian sekitar jam sepuluhan Aika  menemani  Husnar menuju sebuah hotel kecil yang memesan sayurannya. Dipakainya topi baseball berwarna merah, supaya  mata bengkak karena menangis semalam tidak terlihat.

         Pulang dari hotel, Aika pulang sendirian tanpa Husnar yang   ada keperluan  di kota Maninjau menjenguk temannya yang sakit.  Ia tidak langsung pulang ke rumah, tapi berjalan-jalan sebentar di pusat pasar kota yang dikenal dengan sebutan Pasar Atas.

       Pasar Atas begitu semarak dan tak pernah sepi. Dari jauh ia  dapat melihat tenda-tenda tempat berjualan yang berhimpitan dan berwarna-warni. 

       Aika melewati puluhan kedai dan kios  yang menjajakan berbagai produk dari  kerajinan tangan, hingga  jajanan khas kota ini di udara yang cukup panas. 

  Butir-butiran keringat bermunculan cepat di dahinya.

      Tiba di suatu tikungan, Aika merasa  diikuti oleh tiga  orang yang  tak dikenalnya. Ia  menoleh ke belakang, para penguntit  pura-pura membeli sesuatu.

Apakah mereka orang-orang suruhan Datuk Wusang Sati?  tanya Aika dalam hati.  Lalu ia  putuskan untuk membuang topinya yang berwarna merah lalu berjalan lebih cepat untuk menghindari mereka. Aika berusaha berbaur bersama arus pengunjung pasar lainnya untuk mengecoh para penguntit. Panas yang menyengat membuat punggungnya lebih cepat  basah karena  keringat. Baju kaus yang  dikenakan pun telah  lengket di badannya.

     Aika belum begitu hafal rute pasar ini. Tanpa adanya petunjuk arah, ia seperti berada pada suatu jaringan yang rumit, saling silang- menyilang tanpa pola yang jelas. Semakin ke dalam, semakin tersesat.  Jalan satu-satunya hanya  keluar dari kawasan pasar menuju jalan utama. Sambil berlari kecil, Aika mencari celah-celah jalan yang bisa membantunya terlepas dari kejaran penguntit. Ruas jalan yang dilalui semakin sepi dari pengunjung pasar. Aika mulai panik. Tiba di gang yang sempit yang berundak-undak. Aika  terus berlari mengikuti jalan  berkelok yang  mendaki. Sialnya ia  menemui jalan buntu. Ia   tidak bisa lari ke mana pun. Tembok- tembok tinggi telah mengurungnya. Di ujung gang para penguntit berhasil melihatnya. Aika  berpikir keras untuk menyelamatkan diri. Para  penguntit itu melemparkan senyum mengejek ke arah Aika dan mulai berjalan mendekatinya.

"Jangan mendekat! Atau ...."

"Atau apa?..." kata salah satu penguntit yang beralis tebal sambil maju lebih mendekatinya.

Penguntit lainnya ada yang bersiul sambil lalu cengengesan.

Ya Tuhan apakah cindaku mulai mengintimidasiku!

Tiba-tiba Aika merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan aneh ini datang lagi. Sebuah batu dari atas tiba-tiba menghujam jatuh ke salah satu penguntit yang bertubuh paling besar sampai ia terjatuh. Darah mengucur dari keningnya.  Aika mendongakkan kepalanya. Terlihat seorang pria berdiri tegak di salah satu tembok. Ia menutup sebagian wajahnya dan hanya menyisakan kedua matanya.

"Siapa itu? Bangsat!!" seru penguntit yang berbadan besar.

Penolong itu kemudian meluncur dan mendarat di tanah dengan mulusnya, berdiri tegap di antara Aika dan para penyerang.

Courage and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang