Bab 38 Hati yang Gelisah

96 10 0
                                    

Tidak jauh dari kamar Aika, Kalif sedang duduk dengan resah. Sudah tiga hari ia di sana. Selama itu, ia tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Pemuda itu masih belum terlepas dari rasa bersalahnya. Ia masih memaki-maki dirinya dalam hati kenapa terlambat menyelamatkan gadis itu.

Emosinya semakin mengerucut pada saat mengetahui bahwa Syam adalah cindaku. Kepalanya masih bertanya-tanya kenapa Syam tidak melukai Aika, justru sebaliknya pemuda itu melindunginya. Kalif telah menyaksikan Syam yang menyeka kening Aika dengan lembut. Sesaat ia terpaku, matanya tidak bisa berkedip menyaksikan adegan itu. Kenapa bisa begitu? Kalif meremas bagian belakang lehernya, bermaksud mengenyahkan sakit yang mulai menyerang kepalanya.

Seorang bapak tua yang juga sedang menunggui istrinya yang sakit, diam-diam memperhatikan kegelisahan Kalif. Matanya yang sudah dimakan usia, tetap jeli membaca gelagat seorang pemuda yang sedang resah. Ia merasa terpanggil untuk memberikan nasehat, "kesedihan, kemarahan, ketakutan akan selalu menghampiri selama hidup." Bapak itu menarik napas panjang, matanya menerawang, "begitu juga kebahagiaan."

"Pada awalnya hati manusia yang lemah memandang ujian itu sebagai bencana atau kesengsaraan. Tetapi dengan berlalunya waktu, akan membuat manusia bijaksana."

Kalif menoleh ke arah pria tua itu. Ia berpakaian sangat sederhana, karena selalu memakai baju berwarna putih polos dan peci hitam di kepalanya. Kalif baru menyadari bahwa bapak itu telah berada di rumah sakit selama tiga hari seperti dirinya dan selalu duduk di sudut kiri. Kalif berusaha tersenyum, walaupun kegetiran di wajahnya sendiri belum bisa dihilangkan. Begitu kasat matakah keresahannya selama ini, sampai bapak tua ini tergugah untuk menasehatinya.

Melihat sikap Kalif yang santun, membuat bapak tua itu menggeser duduknya berhadapan dengan pemuda itu. Kalif menegakkan tubuhnya. Ia tahu sang bapak tua tidak bermaksud membuka percakapan dengannya, melainkan hanya memberikan nasehat. Kalif tak keberatan, apalagi mengingat kondisinya sekarang yang dibebat oleh perasaan bersalah. Ia lantas mengibaratkan bapak tua itu seperti seorang ayah yang ingin menasehati anaknya sendiri. Sang bapak tua pun berkata dengan suara penuh hikmad, "Jika sesuatu yang tidak kita inginkan dalam hidup terjadi, lebih baik menerima dan menjalaninya dengan kesabaran daripada melawannya. Hidup akan lebih tenang. Bapak tua itu terdiam sebentar, lalu menarik napas panjang sebelum melanjutkan nasehatnya.

"Kita tak berdaya untuk merubah atau menghapusnya," ujar bapak itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.

"Tapi, itulah yang terbaik, hanya dengan menerima, mata hati akan terbuka lebar. Pasti ada hikmah dibaliknya."

Kemudian, pria tua itu beranjak begitu saja dan kembali ke tempat duduknya semula, seolah memberi ruang bagi Kalif untuk berfikir. Kalif memejamkan matanya berusaha meresapi kata demi kata bapak tua itu.

Yah, waktu yang akan menjawabnya. Aku sudah berusaha semampuku.

Kalif kemudian merasakan emosi yang padat meluap-luap berangsur terurai dan mereda. Ia mulai merasa mengantuk, apalagi dengan pusing yang makin memberatkan kepalanya. Ia tak perduli saat itu jam berapa. Ia tahu sudah saatnya untuk melupakan masalahnya sejenak. Kalif merebahkan dirinya di bangku panjang, seraya memandangi cahaya lampu yang berpendaran. Ia menutup rapat matanya, berniat untuk tidur dengan lelap. Beberapa menit kemudian akhirnya ia tertidur pulas.

Courage and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang