Bab 11 Menerima Kepergian

97 8 0
                                    

Setelah sendirian di rumah, Aika berdiam di kamar sambil menatap foto ibunya. Adegan saat ibunya mengatakan akan pergi ke Bukittinggi kembali terbayang. Ia masih sehat saat itu.

Ia tidak begitu ingat alasan kepergiannya. Yang membekas, hanyalah janji nya untuk segera kembali, karena saat itu ia sedang menempuh ujian sekolah. Ia bahkan masih ingat bagaimana rupa suaranya.

Hanya satu hari sayang, tidak lama kok.

Besok, sehabis ujian, mama akan menjemputmu.

Aika masih ingat ketika menunggu ibunya di sekolah begitu lama hingga hari akan menjelang sore, sampai-sampai gurunya harus menelpon ayahnya.

Sebelumnya ia selalu tepat waktu. Wajahnya selalu ada diantara para penjemput.

Kepergian ibunya begitu mendadak. Sebelumnya ia selalu berpikir ibunya selalu hadir untuknya seperti matahari yang selalu bersinar setiap hari, serta pergantian siang dan malam.

Ia berjanji hanya satu hari di Bukittinggi. Namun kembali dalam keadaan tak bernyawa.

Apakah benar ibu dibunuh oleh cindaku?

Kenapa hal ini bisa terjadi?

Berbagai pertanyaan berkumpul menyesaki pikirannya. Pembunuhan merupakan kejahatan keji, biasanya terjadi pada orang lain dan di tempat yang jauh. Tapi sekarang terjadi pada ibunya sendiri. Aika tidak bisa memercayainya jika ibunya benar- benar dibunuh.

Kenapa? Apa salahnya?

Sukar baginya menerima kenyataan itu. Aika tidak mengira ibunya pergi begitu saja. Ia sangat menyesal dan merasa bodoh dengan prasangkanya selama ini.

Aika menarik napas panjang.

Dadanya mulai terasa sesak.Gelombang kesedihan pelan-pelan melandanya. Ia ingatkan dirinya untuk tak terperosok dalam kesedihan. Tapi kedua matanya punya pikiran sendiri, air matanya jatuh tanpa disuruh, disusul butiran berikutnya. Air mata itu datang susul menyusul. Ia tak kuasa menahannya.

Courage and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang