Bab 7 Pendekar Matoari

124 9 0
                                    

Kalif dan gurunya Inyiak Kurai masih terlibat dalam pembicaraan serius.

"Gadis itu harus menemukan harimau pendampingnya, keduanya bisa saling melindungi. Syawal mungkin harimau yang ditakdirkan bersamanya. Disamping itu, ia juga harus mengasah kemampuan telepatinya," ungkap Inyiak.

"Telepati?"

"Ya, komunikasi dengan harimau dapat juga dilakukan dengan cara telepati."

Kalif menghela napas, "Aika akan butuh waktu untuk menguasainya."

"Tentu saja," balas Inyiak, "Kita juga harus segera mempersiapkan diri. Saya akan membicarakan hal ini dengan para pendekar lainnya. Kamu harus ingat bahwa Pendekar Matoari punya tanggung jawab untuk melindungi pelindung dan mencegah kebangkitan cindaku."

Kemudian Inyiak Kurai terdiam. Matanya menerawang jauh, "Tanah ini dibalik kemegahannya menyimpan bara dendam. Aku harap pendekar Matoari dapat bersatu dan memadamkannya," suara Inyiak Kurai terdengar getir.

Kalif mengamati ekspresi gurunya. Saat menyaksikan Inyiak Kurai melatih para murid, pria tua itu laksana seorang pemuda gagah yang semangat dan percaya diri, tapi ketika membicarakan cindaku, terlihat lemah dan gundah karena kekhawatiran.

"Baiklah, ....baiklah...." kata Inyiak Kurai bermaksud menyudahi pembicaraannya. Ia terkesan sudah mendapatkan informasi yang penting dari Kalif.

"Esok pagi ada pelantikan pendekar baru di Lembah Angin, kamu harus tidur lebih cepat," ujar Inyiak Kurai sambil beranjak dari duduknya.

"Baiklah guru," jawab Kalif ikut beranjak.

"Kamu dapat tidur di asrama."

"Jangan khawatir, aku bisa tidur di mana pun," sahut Kalif.

Mereka kemudian berjalan beriringan kembali ke pesantren.

"Sampai besok pagi," ucap Kalif saat tiba di pondokan pesantren.

Inyiak Kurai mengangguk dan menepuk-nepuk punggung Kalif sebentar sebelum kembali ke pondoknya.

Kalif tidur bersama murid-murid lainnya di asrama pesantren. Ruang tidur dibagi menjadi ada empat buah kamar besar yang dapat diisi hingga delapan orang anak. Masing-masing kamar cukup luas, dengan jendela yang lebar memudahkan pergantian udara dan masuknya sinar matahari. Tidak ada dipan, hanya kasur tipis dan bantal yang digelar di lantai. Sehabis tidur kasur-kasur itu harus digulung, sehingga ruangan menjadi lebih lapang dan mudah dibersihkan.

Itu semua berkat kepemimpinan dan contoh dari Inyiak Kurai yang sangat bersih. Ia sangat tidak suka melihat ruangan yang berantakan, kotor dan berbau. Baginya berbuat kebaikan serta kebersihan adalah bagian dari kepribadian seorang muslim yang utama.

Sebagai contoh bagi para muridnya, ia merapikan sendiri kamar tidurnya hingga menyikat kamar mandinya. Bahkan ia sering terlihat menyapu masjid dan mengepelnya sendiri.

Setelah sholat shubuh, Kalif langsung menuju Lembah Angin kira-kira setengah jam perjalanan mendaki dari pesantren. Ia harus menembus hutan untuk mencapainya. Setelah sampai di lokasi pelantikan. Ia melebarkan pandangannya di tepi lembah megah yang indah ini. Matahari belum tampak sepenuhnya di ufuk langit. Udara pun masih berkabut.

Kalif melihat temannya Azis yang sudah menjadi pengajar tetap di pesantren ini, sedang melakukan pemanasan dengan para pendekar lainnya. Mereka melakukan pemanasan dan peregangan, kemudian berlari-lari kecil dalam sebuah lingkaran besar. Kalif lantas langsung bergabung bersama mereka. Sewaktu Inyiak Kurai datang bersama para pendekar tua, para pendekar muda langsung memberi hormat kepada para seniornya. Kemudian mereka membentuk formasi lingkaran, lalu sekali lagi membukukkan badan secara serempak untuk saling menghormati kepada sesama pendekar. Suasana sangat sunyi. Udara pun begitu dingin. Mereka adalah para Pendekar Matoari.

Tanpa basa basi, seseorang maju ke tengah lingkaran. Ia adalah calon pendekar yang akan dilantik. Namanya Barli, usianya masih enam belas tahun. Pada mulanya ia memperagakan langkah-langkah dasar silat. Kemudian dilanjutkan dengan jurus-jurusnya. Kadang-kadang lembut tetapi kemudian berubah keras dan cepat dengan porsinya masing-masing. Semua gerakan itu menyatu serasi. Orang awam hanya akan melihat gerakan-gerakan sederhana, namun setiap langkah dan gerakan yang sedang dilakukan merupakan kombinasi gerakan yang ampuh untuk mempertahankan diri dan mnyerang lawan.

Lima orang pendekar termasuk Kalif akan menguji keterampilan Barli. Setiap serangan harus dapat ia belokkan dulu beberapa kali, sebelum melakukan perlawanan. Pendekar baru mengerahkan segala kemampuannya. Ia mempertunjukkan semua teknik yang dikuasai dari segala posisi sampai teknik akrobatik.

Pelantikan diakhiri dengan janji sang pendekar baru kepada nilai-nilai kebajikan, menjalin persaudaraan terhadap sesama pendekar dan saling melindungi di jalan yang benar.

Pendekar Matoari telah terbentuk sejak ratusan tahun. Mereka adalah kumpulan pendekar yang berasal dari seluruh Bukittinggi dan wilayah di sekitarnya yang mempunyai tujuan utama untuk mempertahankan negeri dari penjajah asing. Sewaktu pemerintah kolonial Belanda berniat menguasai Sumatra Barat, mereka melakukan gerakan gerilya untuk mengusirnya. Dengan kemunculan cindaku, mereka juga membawa misi untuk membasminya.

Setelah pelantikan selesai. Para pendekar kembali ke pesantren. Kalif memandangi telaga dari kejauhan. Keheningan telaga itu menarik dirinya untuk mendekat. Airnya masih jernih dan bersih. Seperti murid pesantren lainnya, ia sering memanfaatkan telaga untuk Latihan berenang. Kalif kemudian duduk di pinggir telaga, sambil mengingat waktunya dulu yang dihabiskan di pesantren ini. Selanjutnya pikiran lainnya datang. Ia berusaha menghiraukannya tapi semakin lama, semakin mendesak kenangan lamanya. Kenangan lama pun terpental. Pemuda itu mulai gelisah, Ia berdiri tegak lalu menarik napas panjang seakan rongga dadanya menyempit. Ia berharap pikirannya bisa sejernih air telaga ini apalagi saat memikirkan gadis itu. Pemuda itu sedang terperangkap dalam pikirannya sampai-sampai ia tidak mengetahui Azis temannya datang menghampiri.

"Hei, sedang merenung sendirian?"

Kalif tersenyum cengengesan.

"Apa gadis itu cantik?" tanya Azis sambil mencondongkan wajahnya ke arah Kalif..

Kalif terperangah mendengar pertanyaan Azis. Ia tidak menyangka Azis datang sekonyong-konyong dan menyerangnya dengan jurus semacam ini.

"Kamu lebih awas dariku. Jika merenung lama seperti ini, dan tidak menyadari kedatanganku, pasti berkenaan dengan seorang gadis!" lanjut Azis dengan ekspresi jenaka.

"Eh, ini bukan masalah gadis! Ini masalah yang lebih serius dan bukan buat bercanda!"sergah Kalif.

"Masalah hati juga masalah yang serius!" Azis berkilah dengan sengit.

"Sudahlah jangan berkelit! Aku sudah tahu mengenai serangan cindaku itu dari Inyiak Kurai, he..he..he..." cetusnya dengan wajah usil.

Kalif tahu sifat temannya luar dalam, begitu pula sebaliknya. Dibalik gurauannya Azis pasti sudah mengamati dirinya dari tadi. Kalif tidak mau terlibat dalam permainannya. Dalam hatinya, tuduhan temannya mungkin benar karena dengan mendengar nama Aika saja sudah membuat darahnya mendesir tidak karuan.

"Kamu! ...ah ...sudahlah," Kalif mengibaskan tangannya. Ia tidak mau Azis membahas lebih jauh mengenai Aika. Ia harus membelokkan pembicaraannya.

"Aku teringat kamu selalu kalah jika berenang melawanku di telaga ini," singgung Kalif .

"Aku hanya mengalah darimu!" bantah Azis.

"Ayo kita buktikan! Perutmu sudah membuncit, tak mungkin menang dariku!"

Sebelum Azis mengelak, Kalif telah mendorongnya jatuh ke telaga dingin. Akhirnya mereka berdua saling berpacu di telaga.

Courage and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang