DISCLAIMER
Apa yang terjadi di chapter ini adalah pure fiksi. Dan sikap atau karakter Hayam Wuruk dicerita ini juga hanya karangan aku semata. Aku harap kalian bijak dan tidak membawa cerita fiksi ke dalam dunia nyata. Hayam Wuruk di cerita ini tidak ada kaitannya dgn sosok Hayam Wuruk yang sesungguhnya.
Dan, yang sedang berpuasa aku sarankan membacanya setelah berbuka nanti karena ekhem.
Aku memandang pantulanku di cermin. Sebenarnya, aku masih mempertanyakan diriku sendiri kenapa harus berias secantik ini di hari pernikahan kekasihku dengan wanita lain.
Meski tidak menggunakan make up seperti di masa depan, harus kuakui tampilanku hari ini sangat berbeda. Mulai dari rambut hingga pakaian yang aku kenakan.
Biasanya, aku hanya menggunakan jarik atau kemben dari kain polos tanpa motif. Tapi hari ini, wow, kain batik yang melekat pada tubuhku sangat cantik.
Aku tidak tau kenapa Ibu menyuruhku menggunakan kain batik dengan motif gedeg. Bukannya aku tidak menyukainya, tapi filosofi di balik motif ini adalah keharmonisan antara hubungan laki-laki dan perempuan. Sungguh menohok. Aku rasa beliau ingin menertawakanku dari motif batik ini.
"Kau sangat cantik."
Ibu menatapku dari pintu kamar. Tatapannya mengarah padaku dengan sorot yang sulit dijelaskan.
"Terima kasih. Kau juga sangat cantik, Bu. Apalagi kain yang aku kenakan, luar biasa cantik." Sahutku.
Beliau tertawa sambil melangkah menghampiriku. Sama halnya denganku, Ibu juga menggunakan jarik dan kemben bermotif batik.
"Untukmu." Ibu menyodorkan selendang berwarna putih dengan sentuhan merah pada motifnya.
"Apa motif kali ini berarti kekasih yang putus cinta?"
"Hahaha tidak! Itu motif surya Majapahit, lihatlah!"
Aku mengulas senyum, malu karena kesalahanku yang tidak memperhatikan motif tersebut.
"Kau sudah siap? Kita akan melihat Raja dan Ratu yang memimpin kerajaan ini."
"Mereka pasti menggunakan emas sebanyak seberat karung."
Meski kami tertawa bersama-sama, aku yakin Ibu juga merasakan sesuatu yang mengganjal di hati kami. Ibu pasti bisa merasakan kegundahan hatiku.
Setiap langkah yang aku ambil, aku selalu menarik nafas panjang. Di jalan menuju istana, sudah banyak sekali rakyat yang berkumpul menunggu Raja dan Ratunya.
Aku sangat terkesan melihat semua wajah-wajah bahagia seluruh rakyat yang hadir untuk merayakan pernikahan ini. Tapi aku lebih terkesan melihat beberapa meja-meja panjang yang di atasnya terdapat makanan untuk para rakyat.
Sepertinya ini memang pesta yang ditujukan untuk Rakyat, pesta yang bisa dinikmati seluruh lapisan elemen.
Suara riuh semakin terdengar ketika iring-iringan raja terlihat. Aku semakin melangkah maju untuk melihatnya lebih dekat. Ini adalah kesempatan yang luar biasa, melihat pernikahan seorang raja secara langsung. Meski ada rasa nyeri di dadaku, karena raja tersebut adalah lelaki yang menjadi kekasihku.
Bagaimana aku mendeskripsikan semua keindahan ini, ya? Di barisan paling depan, terdapat gadis-gadis cantik yang aku yakini adalah penari. Lalu pengawal kerajaan terlihat begitu banyak, mengawal kereta kencana yang diduduki oleh Raja dan Ratu.
Mataku benar-benar dimanjakan oleh keindahan ini. Jantungku berdegub semakin kencang ketika kereta kuda berlapis emas itu mendekat.
Hayam Wuruk bilang, tidak semua orang bisa melihat bagaimana rupa raja. Tapi hari ini, ia menjilat ucapannya sendiri. Seluruh rakyat dari berbagai lapisan elemen bisa melihat bagaimana rupa raja dan ratu mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King and His Flower [Majapahit]
Historical FictionAda kisah yang mungkin tidak pernah tercatat di bukti sejarah manapun. Tapi kisah itu selalu kekal di hati dua insan yang saling terikat. Meski tidak terucap oleh kata, tidak tertulis oleh tinta rasa itu akan selalu ada. Tidak akan pudar meski suda...