Sejak kejadian yang hampir merenggut nyawaku itu, aku langsung dipulangkan tanpa menunggu apapun lagi. Aku benar-benar tidak menyangka akan mengalami situasi seperti itu.
Sialan, sebuah pedang menempel tepat di leherku! Jika si aneh tetap pada pendiriannya, mungkin sekarang aku sudah tinggal nama karena kepalaku yang terpisah dari tubuh ini. Aku benar-benar bergedik membayangkannya.
Setelah Hayam Wuruk menyetujui syarat yang Ibundanya yang baru sekarang aku ketahui bernama Tribhuwana Tunggadewi berikan, kabar tentang pernikahannya santer terdengar keseluruh penjuru kerajaan. Bahkan, menurut info yang Ayahku berikan sudah ada lukisan yang menggambarkan wajah cantik putri dari Pajajaran tersebut.
Aku tidak bisa melakukan apapun. Untuk tetap hidup saja mungkin sudah hal yang sangat aku syukuri sekarang ini.
Rutinitasku semenjak pulang dari istana beberapa waktu lalu hanya sekedar melakukan pekerjaan rumah dan menjahit. Aku tidak punya keahlian apapun lagi selain dua hal itu. Bahkan Ibu dan Ayah juga seakan mengerti apa yang terjadi kepadaku, mereka bersikap sangat hati-hati dan menghindari perbincangan yang akan membahas Sri Rajasanagara di dalamnya.
Malam ini, langit begitu cantik. Aku memandangi dari kamarku bintang-bintang yang berkilau layaknya berlian di angkasa.
Aku sedang melamun sambil terus memikirkan apa yang membuatku bisa berada di masa ini? Mungkinkah sesuatu yang belum selesai terjadi padaku dulu? Atau ada kemungkinan lain seperti reinkarnasi?
Entahlah, semuanya masih abu-abu dan tidak memiliki jawaban.
Mataku membulat ketika sosok yang mengenakan jubah berwarna hitam muncul tepat di depan jendela kamarku. Aku hampir saja berteriak, namun sosok itu langsung melepaskan tudungnya dan berhasil mengurungkan niatku.
"Apa yang kau lakukan?" Bisikku.
Hayam Wuruk tersenyum. "Menghampirimu. Keluarlah, aku merindukanmu."
Tentu saja aku menggeleng. Aku tidak mau membuat masalah lagi bagi kami. Bisa-bisa bukan hanya sebuah pedang yang menempel, tapi anak panah dan benda-benda tajam lainnya juga akan menempel di tubuhku nanti.
Wajah Hayam Wuruk langsung sendu, ia mengambil nafas dalam lalu mengajakku lagi. "Ayo, keluarlah! Aku jamin tidak ada satupun orang yang akan tau. Semua sibuk di istana, ayolah!"
"Apa mau mu?"
"Kau. Aku merindukanmu."
Semua perilaku dan perkataan manis yang Hayan Wuruk berikan, membuat aku lupa jika sebenarnya sudah memiliki Abi sebagai kekasihku di masa depan.
Bersama si aneh, aku merasa istimewa. Jauh berbeda dengan Abi yang hanya bisa menuntut. Tapi ngomong-ngomong kenapa aku jadi membandingkan mereka?
"Ayolah, aku mohon..."
Aku sangat tidak tega melihat Hayam Wuruk yang memohon seperti itu, jadi aku mengabulkan permintaannya.
Memanjat ke jendela dengan menggunakan jarik ini sangat menyulitkan. Untungnya, lelaki itu membantuku dengan sangat baik.
Setelah berhasil keluar dari rumahku melalui jendela, kami secepat mungkin menjauh dengan kuda putih kebanggaannya.
Pikiranku terdistraksi oleh pemandangan malam ini. Langit sedang sangat cerah, dihiasi oleh bintang dan bulan yang berkilau indah disana.
Sesuatu yang jarang aku temui, karena di kotaku cahaya bintang dan bulan sudah redup oleh lampu-lampu dari gedung pencakar langit.
Meski hanya sekali, aku tau kemana kami akan pergi. Betul, taman bunga itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King and His Flower [Majapahit]
Fiksi SejarahAda kisah yang mungkin tidak pernah tercatat di bukti sejarah manapun. Tapi kisah itu selalu kekal di hati dua insan yang saling terikat. Meski tidak terucap oleh kata, tidak tertulis oleh tinta rasa itu akan selalu ada. Tidak akan pudar meski suda...