Rasanya sudah lama sekali sejak aku bertemu Hayam Wuruk terakhir kali. Lelaki itu sepertinya benar-benar sibuk mengurus masalah kerajaan.
Untungnya, pertemuan kami cukup membekas. Maksudnya, aku harus mengakui jika apa yang terjadi di air terjun tempo hari adalah sesuatu yang sangat intense.
Ah sial, kenapa rasa menyesal selalu menghantuiku setelah pulang dari air terjun? Bukankah aku harusnya bangga karena berhasil menghentikan semuanya tepat pada saat yang krusial?
Itu adalah momen paling menggairahkan di dalam hidupku. Bahkan dengan Abi yang notabennya kekasihku itu, aku tidak pernah benar-benar menikmatinya.
Sedangkan dengan lelaki purba yang super aneh, aku bisa larut dalam suasana dan meleleh seperti lilin.
Oke, aku rasa cukup mengingat kejadian itu karena aku bisa gila jika terus-terusan melamun dan membayangkan lelaki yang sekarang sedang ditelan bumi.
"Ayana, ayok ikut Ibu." Ajak Ibu. Beliau sudah membawa tas dari anyaman dan menatapku penuh harap.
"Ke pasar?"
Ibu mengangguk, lalu menjulurkan tangannya untuk aku genggam. Ohya, omong-omong setelah aku kembali dari istana kedua orangtua ku, khususnya Ibu menjadi jauh lebih perhatian.
"Kita berjalan kaki?" Tanyaku saat tidak melihat ada pedati atau alat transportasi lain di depan rumah kami.
"Iya. Kau sedang tidak di istana, jangan harap akan naik kereta kencana." Kata Ibu.
Aku tertawa, menyenderkan tubuhku ke arahnya karena malu. "Ibu sedang meledek aku ya?"
"Hahaha tidak. Ngomong-ngomong, apa kau merindukan suasana di istana?"
"Tidak."
"Kenapa?"
Karena aku merindukan rumah. Aku ingin pulang meski kini aku sudah nyaman berada disini.
"Aku sendirian di istana."
Mendengar jawabanku, Ibu tersenyum. Aku bisa merasakan jemarinya yang mengelus punggung tanganku dengan lembut. "Kalau begitu, kau disini saja. Bersama aku dan Ayahmu."
Aku membalas senyuman Ibu. Pasti beliau sangat menyayangi Ayana, apa Ayana juga merindukan orang tuanya seperti aku merindukan Bunda?
***
Suasana di pasar cukup ramai. Ada berbagai macam pedagang menjajakan dagangannya. Mulai dari makanan, hewan potong, hingga keperluan lainnya dan hiasan rumah.
Sebenarnya tidak ada yang spesial, pasar di zaman ini hampir sama dengan pasar tradisional di abad 20. Mungkin hanya alat pembayarannya saja yang berbeda.
Disini menggunakan uang gobog. Uang gobog merupakan koin yang memiliki bentuk surya majapahit. Aku rasa koin ini terbuat dari timah, atau entahlah aku tidak terlalu paham.
Sambil menemani Ibu memilih belanjaan, mataku bergerak mengamati sekitar. Aku cukup penasaran dengan cara masyarkat pada zaman ini bersosialisasi.
Dari sekian banyak orang di pasar ini, mataku tertuju pada salah satu lelaki yang sudah berumur. Dari tempatku berdiri, kakek itu dikelilingi oleh beberapa anak kecil.
Dengan rasa penasaran yang sangat membara, aku menghampiri kakek itu tanpa memberi tahu Ibu terlebih dahulu.
Perlahan, aku bisa mendengar suaranya ketika langkahku semakin dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King and His Flower [Majapahit]
Fiksi SejarahAda kisah yang mungkin tidak pernah tercatat di bukti sejarah manapun. Tapi kisah itu selalu kekal di hati dua insan yang saling terikat. Meski tidak terucap oleh kata, tidak tertulis oleh tinta rasa itu akan selalu ada. Tidak akan pudar meski suda...