10. Janji Sri Rajasanagara

7.8K 1.3K 118
                                    

Ternyata, malam dimana aku pergi secara diam-diam dengan Hayam Wuruk adalah sebuah permulaan untuk malam-malam berikutnya. Kami jadi sering pergi berdua, ke taman bunga itu atau tempat lainnya. Tentu saja sampai matahari segera terbit.

"Selamat malam, cantik."

Aku mengulas senyum. Apa aku sudah mengatakan jika sekarang Hayam Wuruk gemar sekali menggoda?

Tanpa perlu diperintah lagi, aku langsung keluar dari kamarku lewat jendela. Syukurlah, rumah ini tidak tingkat jadi mempermudah aksesku.

"Kau tidak terlihat seperti raja." Ucapku saat kita sedang menyusuri jalan dengan kuda putih milik Hayam Wuruk.

Lelaki itu tertawa. "Begitukah?"

Aku mengangguk. "Padahal istana sedang mempersiapkan pernikahanmu, tapi kau malah keluar dengan wanita lain. Tck, dasar lelaki!"

Sebenarnya, aku sedikit ngeri jika ucapanku menyinggung dirinya. Tapi Hayam Wuruk lagi-lagi tertawa. "Aku rasa tidak masalah. Itu pernikahan yang mereka inginkan, bukan aku."

Kali ini giliran aku yang tertawa. "Apa putri dari Pajajaran cantik?"

"Untuk seorang perempuan, ia cantik. Tapi tetap saja bukan perempuan yang aku cintai."

"Ah putri cantik yang malang."

Mungkin kami sudah perlahan-lahan mengerti jika tidak ada yang bisa dipaksakan. Sejak mendengar ucapan cinta dariku, maksudnya Ayana, Hayam Wuruk jadi terlihat lebih tegar dan legowo.

Ditengah keheningan malam, aku sangat terkejut ketika sebuah tali yang menghadang jalan berhasil membuat kami terjatuh.

Sialan, ini sangat menyakitkan. Aku rasa tanganku patah karena hal ini.

Seperti tidak mau mengulang kejadian yang sama, Hayam Wuruk bangkit dengan cepat dan menarik diriku untuk mendekat. Matanya menatap sekeliling dengan awas.

Aku jadi takut, karena entah kenapa malam ini terasa sangat gelap tanpa cahaya dari bulan atau bintang di langit.

"Keluar." Kata Hayam Wuruk, itu terdengar seperti perintah. Dan dalam waktu beberapa detik, aku bisa melihat orang-orang asing keluar dari gelapnya malam.

Rasa takut yang menjalar ke tubuhku membuat aku semakin mendekatkan diri pada Hayam Wuruk. Aku menggenggam tangannya dengan sangat erat.

Satu sosok yang cukup familiar muncul paling akhir setelah semua pasukannya berhasil menghentikan kami. Itu Mahapatih Gajah Mada. Apa ini karma yang aku dapatkan karena mengacuhkan namanya di masa depan?

Aku tidak pernah peduli dengan namanya yang terpampang sebagai nama jalan, universitas atau apapun. Itu tidak penting, menurutku. Tapi aku menyesal sekarang, aku takut benar-benar akan dipenggal kali ini.

"Mahapatih, apa yang kau lakukan?" Tanya Hayam Wuruk.

"Harusnya aku yang bertanya kepadamu, Baginda. Apa yang sedang kau lakukan?"

"Itu bukan urusanmu."

Aku menggenggam tangan Hayam Wuruk semakin erat sambil beringsut mundur ketika Mahapatih mendekat. Aku takut...

"Jadi ini alasan kenapa Baginda sering keluar istana?" Tanya Mahapatih.

Hayam Wuruk tidak menjawab, tapi mata legamnya menatap sosok Mahapatih dengan sangat lekat dan tajam.

Mahapatih tersenyum, senyuman yang membuat tubuhku merinding. "Kau bisa membohong semua orang yang ada di istana. Tapi kau tidak bisa membohongiku, baginda."

The King and His Flower [Majapahit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang