Aku bisa mendengar suara bisik-bisik yang samar, namun ketakutan menyelimuti diriku untuk membuka mata.
Aku takut sekali untuk membuka mata dan melihat dimana aku sekarang. Aku takut jika ketika sepasang mataku terbuka, aku berada di tempat yang tidak aku inginkan. Belum aku inginkan lebih tepatnya.
Namun aku juga tidak bisa memungkiri jika rasa penasaran yang berkecambuk di dadaku begitu besar. Rasa penasaran yang entah kenapa berhasil memaksaku untuk membuka mata.
Jantungku berdegub dengan sangat cepat ketika sinar lampu secara perlahan menyapa penglihatanku. Butuh beberapa detik hingga akhirnya aku sadar dimana aku sekarang.
Sebuah nafas lega berhasil aku hembuskan ketika menyadari jika aku masih berada di Majapahit. Aku masih menjalani kehidupan sebagai Ayana Narendraswari.
Pandanganku bergerak melihat sekeliling, lalu menangkap sosok Ayah dan Ibu yang sedang berbicara. Mereka terlihat sangat serius atau malah sedang berdebat? Aku belum tahu pasti.
"Ibu..." panggilku. Suaraku ternyata berhasil mencuri perhatian, membuat orang tuaku menatapku secara bersamaan.
Ibu menghampiriku, duduk di sampingku dengan sorot mata yang terlihat sendu. Bahkan aku bisa melihat mata Ibu yang sembab. Sedangkan Ayah, ekspresinya sangat sulit untukku baca.
"Kau sudah sadar? Apa kau baik-baik saja?" Tanya Ibu khawatir.
Aku mengangguk, perlahan mencoba mendudukkan diri. "Apa yang terjadi?" tanyaku.
Tidak ada jawaban apapun dalam beberapa menit, hingga aku harus kembali mengulang pertanyaan. "Apa yang terjadi, Bu?"
Ibu menunduk, terlihat menghindari tatapanku. "Bu..."
"Kau hamil! Kau dengar? Kau. Hamil." Itu bukan suara Ibu, melainkan Ayah. Ayah mengatakan itu dengan suaranya yang tegas dan menyeramkan.
Pada detik ini, seluruh duniaku seperti berhenti. Bahkan aku seakan kehilangan tenagaku hanya untuk mengeluarkan suara.
"Siapa lelaki itu?" Suara Ayah masih terdengar menyeramkan, sehingga aku hanya bisa menundukan kepala.
"Jawab aku! Siapa lelaki itu Ayana?"
Di kehidupanku sebagai Ayana Rose, aku tidak pernah dimaki seperti ini oleh Bapak. Beliau meninggal sejak aku masih lima tahun. Namun, mendengar Ayah meneriakiku, aku jadi benar-benar takut.
"Yah, jangan seperti--"
Ayah memotong ucapan Ibu dengan kata-kata yang berhasil membuatku mendongak. "Apa kau menggoda Maharaja? Apa kau menjalani hubungan gelap dengannya?"
"Aku tidak menggodanya." Sahutku pelan.
"Jadi benar lelaki itu adalah Hayam Wuruk?"
Keheningan tercipta dalam beberapa detik. Aku tidak merespon apapun untuk pertanyaan Ayah yang satu itu.
Ayah terlihat gusar, beliau menghembuskan nafas keras sambil bertolak pinggang. "Jika kau bepikir bisa memasuki keluarga kerajaan hanya karena hamil anak dari Hayam Wuruk, kau salah besar! Mereka tidak akan pernah menerima hubungan kalian yang tercipta tanpa ikatan apapun!"
"Aku tidak bermaksud apapun, ini semua--"
"Kau hanya akan dianggap wanita murahan menjijikan. Apa kau tau jika Ratu juga sedang mengandung? Apa kau fikir calon bayimu bisa menandingi kedudukan dari keturunan yang sah dan berkuasa?" Ucapnya sinis. Dengan mata tajamnya, Ayah mentapku lekat-lekat.
Dadaku begitu bergemuruh, jika tidak menganggap lelaki ini adalah Ayah dari Ayana Narendaswari, aku pasti akan memukulnya dengan bangku.
Aku bangkit dari dipan dan berdiri di depan Ayah dengan sorot mata yang nyalang. "Aku tau ini sebuah kesalahan. Tapi aku tidak melakukannya dengan maksud tertentu. Aku tidak tertarik dengan keluarga kerajaan, tahta atau apapun itu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
The King and His Flower [Majapahit]
Fiksi SejarahAda kisah yang mungkin tidak pernah tercatat di bukti sejarah manapun. Tapi kisah itu selalu kekal di hati dua insan yang saling terikat. Meski tidak terucap oleh kata, tidak tertulis oleh tinta rasa itu akan selalu ada. Tidak akan pudar meski suda...