Ini sudah hari kesekian aku selalu menangis setiap terbangun dari tidurku. Aku menangis dengan keras karena hingga detik ini, aku masih terjebak di masa lampau.
Hatiku sudah sakit, kepalaku apalagi. Aku tidak tau berapa lama aku terdampar di pinggir sungai hingga orangtuaku datang.
Menurut mereka, saat ditemukan tubuhku sudah memucat dan dingin. Tapi entah harus bersyukur atau kecewa, aku masih bernafas.
Aku benar-benar ingin pulang. Kembali menjadi Ayana Rose dan menjalani kehidupan seperti seharusnya. Namun setelah semua kelakuanku, pasti aku akan mengecewakan Ayana Narendraswari. Gadis itu pasti akan membenciku juga.
Entah kenapa aku menjadi sangat melankolis karena semua suara yang tidak berhenti menggema di kepalaku. Semua suara-suara itu menggema tiada henti.
Bahkan orangtuaku sudah memanggil beberapa tabib untuk menyembuhkanku, tapi itu tidak berguna sama sekali. Aku tidak butuh pengobatan apapun, karena yang sedang sakit adalah psikisku.
Aku hanya membutuhkan tempat untuk bersandar dan menceritakan semua keluh kesahku. Namun, tidak mungkin jika aku menceritakan ini semua kepada Ibu. Bisa-bisa beliau mengamuk dan tentunya kecewa.
"Bunda..." aku menghapus airmataku ketika mengucapkan kata itu. Demi Tuhan aku sangat merindukan Bunda. Apa beliau baik-baik saja? Apa Bunda kesepian karena tidak ada aku disisinya? Pasti beliau sangat sedih jika sesuatu terjadi kepadaku karena hanya akulah satu-satunya yang selalu menemani Bunda setelah kepergian Ayah.
"Aku mau pulang..."
Pintu kamarku terbuka tiba-tiba, meski aku mendengarnya tidak ada sedikitpun minat untuk melihat siapa yang masuk secara bar-bar seperti itu. Aku masih menatap keluar jendela dengan pikiran yang melayang jauh.
"Ayana, apa yang terjadi?"
Ah suara si brengsek itu. Kenapa aku mendadak muak mendengar suaranya? Padahal setelah kejadian malam itu aku sangat mengharapkan kehadiran Hayam Wuruk, meski hanya satu menit.
Rasa kecewaku mungkin bisa sirna jika setelah ia meninggalkanku, esok harinya Hayam Wuruk kembali datang dan memberikan beberapa penjelasan. Entah itu hanya omong kosong atau sungguhan, aku tidak peduli. Aku hanya ingin mendengar penjelasannya.
Namun, lagi-lagi ekspetasiku terlalu tinggi. Aku menunggu lelaki itu berhari-hari hingga minggu demi minggu, tapi tidak ada satupun kabar yang aku dengar tentangnya. Hingga hari ini.
"Aku dengar kau sakit dan--"
"Aku tidak sakit."
"Tapi kau ditemukan di sungai dengan keadaan tidak baik. Bagaimana keadaanmu?"
Ayana, kau harus menahan semua gejolak emosi yang sudah siap meledak itu. Aku menarik nafas panjang sebelum membalikkan tubuh untuk menatap Hayam Wuruk.
Wow, sudah berapa lama ya aku tidak melihat lelaki ini? Sebenarnya tidak selama itu tapi aku merasa sangat...asing. Seakan sosok yang berdiri di hadapanku bukanlah Hayam Wuruk yang aku kenal.
"Aku baik. Dan kejadian itu sudah lama berlalu, Maharaja." Sahutku datar. Aku dengan sengaja menekan kata Maharaja untuk memperjelas status lelaki itu saat kami sedang berbicara.
Hayam Wuruk menunduk, ia terlihat menghembuskan nafas singkat sebelum kembali menatapku.
"Maafkan aku, karena baru sempat mengunjungimu. Ada beberapa mengenai kerajaan yang harus aku urus."
Klasik. Sangat klasik.
Mungkin perkataan Hayam Wuruk adalah cikal bakal alasan laki-laki di masa depan yang selalu menggunakan kesibukan pekerjaannya sebagai tameng.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King and His Flower [Majapahit]
Исторические романыAda kisah yang mungkin tidak pernah tercatat di bukti sejarah manapun. Tapi kisah itu selalu kekal di hati dua insan yang saling terikat. Meski tidak terucap oleh kata, tidak tertulis oleh tinta rasa itu akan selalu ada. Tidak akan pudar meski suda...