15. Almost

7.5K 1.2K 128
                                    

"Apa kau ingin memberikanku undangan pernikahan?" Tanyaku dengan suara yang datar. Aku sangat berusaha untuk tidak bersikap kurang ajar kepada raja, tapi rasanya sulit sekali meredam perasaan ini.

Hayam Wuruk menghela nafas, ia menunduk sesaat sebelum kembali menatapku. "Ayana, aku ingin bicara denganmu. Keluarlah."

Aku menggeleng. "Bicaralah."

"Tapi tidak disini. Ayolah, sebentar saja."

"Kenapa tidak? Kau takut orangtua ku menguping?"

"Apa yang sedang kau bicarakan?"

Kali ini aku berhasil bungkam. Apa sikapku tadi terlalu menyebalkan? Karena sungguh aku kesal sekali dengan lelaki itu. Bagaimana bisa ia menciumku lalu beberapa bulan kemudian menikah dengan wanita lain?

Dia pikir dia siapa? Oh tentu saja dia seorang Raja. Aku melupakan fakta itu saat emosi menguasai kepalaku. Ia bisa melakukan apapun yang dirinya inginkan karena Hayam Wuruk seorang raja.

"Ayolah, keluar denganku meski sebentar..."

Mungkin kelemahanku memang terletak pada permohonan lelaki. Entah itu Abi atau Hayam Wuruk, aku selalu luluh ketika mereka memohon kepadaku. Atau mungkin memang aku saja yang mudah dibodohi.

Pada akhirnya, aku lagi-lagi mengiyakan ajakan Hayam Wuruk. Kali ini ia tidak menggunakan kuda putih kebanggaannya. Seekor kuda hitam yang sama gagahnya menjadi alat transportasi kami sekarang.

Aku rasa kami akan menuju ke taman bunga lagi, karena sungguh aku sudah hafal dengan rutenya. Mungkin karena terlalu sering mengunjungi tempat tersebut, aku jadi mengingat setiap rute menuju kesana.

Tidak ada percakapan diantara kami hingga tiba di taman bunga. Aku benar-benar kebingungan dengan diriku sendiri. Ingin sekali rasanya pertemuan ini segera berakhir dan aku bisa secepat mungkin kembali ke rumah. Namun disisi lain, aku juga ingin menghabiskan waktu bersama Hayam Wuruk.

"Jadi apa yang ingin kau katakan?" Aku menatap Hayam Wuruk lekat, netra legamnya bergerak tidak beraturan karena gelisah.

Setelah menghembuskan satu helaan nafas, akhirnya ia bersuara. "Aku akan segera menikah."

"Aku sudah mendengarnya."

Hayam Wuruk menatapku dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Sri Sudewi adalah sepupuku. Pasca perang bubat, kerajaan jadi tidak kondusif lagi dan aku harus segera menikah."

Aku mengangguk. Aku yakin jika itu bukan bualan semata, tapi yang mengganggu pikiranku adalah kenapa ia tidak memberitahukannya kepadaku secara langsung?

"Apa ini alasan yang membuatmu sibuk? Kau sibuk mempersiapkan pernikahanmu?"

"Ayana, kau harus mengerti jika ini tidak semudah yang kau fikirkan. Pernikahan ini lagi-lagi bukan sebuah pernikahan tanpa alasan di baliknya. Aku yakin kau cukup paham tentang hal ini..."

Ucapan Hayam Wuruk membuat secerca rasa bersalah muncul di dadaku. Entah kenapa aku merasa sedikit berlebihan dan memojokkan lelaki itu karena pernikahan ini.

"Kenapa kau tidak memberitahuku? Kenap aku harus mendengarnya dari orang lain?"

"Aku sedang memberitahumu, Ayana."

Baiklah, aku rasa cukup sampai sini aku mendebatnya. Toh sepanjang apapun kami berdebat tidak akan menghasilkan sesuatu untuk ke depannya.

Aku berjalan menjauhi Hayam Wuruk, menarik nafas dalam-dalam dan mencoba kembali mengumpulkan kewarasan yang sempat hilang karena egoku.

Mungkin semua perasaan ini timbul karena aku merasa diistimewakan oleh lelaki itu, saat kenyataannya tidak juga. Bagaimana pun Hayam Wuruk adalah seorang raja dan siapa dirimu hei?

The King and His Flower [Majapahit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang