32. Permintaan Hayam Wuruk

7.8K 1.1K 106
                                    

Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak kepergian Ayana, Hayam Wuruk benar-benar kehilangan separuh nafasnya. Semuanya memang berjalan seperti seharusnya, ia menjalankan kewajibannya sebagai seorang raja dan juga kepala rumah tangga. Tetapi, ketika langit sudah menggelap dan hanya suara alam yang terdengar, Hayam Wuruk menangis di dalam kesendiriannya.

Mungkin waktu memang akan menyembuhkan segalanya, tapi Hayam Wuruk yakin ia butuh banyak sekali waktu untuk bisa kembali merasa baik-baik saja. Atau mungkin hal itu tidak akan pernah terjadi.

Hari ini, ia menjalankan tugasnya sebagai seorang Ayah. Menemani putri cantiknya bermain di halaman kerajaan. Kusumawardhani terlihat sangat bahagia, balita berumur tiga tahun itu begitu aktif dan juga menggemaskan. Namun, setiap kali melihat putrinya tumbuh sesuatu dalam benak Hayam Wuruk selalu hadir dan membuat hatinya nyeri. Apakah anaknya dan Ayana juga akan terlihat menggemaskan seperti Kusumawardhani? Apakah ia akan tumbuh menjadi balita tampan seperti Ayahnya?

Sampai hari ini, perasaan bersalah itu tidak pernah pergi sedikitpun dari Hayam Wuruk. ia masih belum bisa menerima kenyataan jika hal tersebut mungkin saja bisa berbeda jika dirinya menemani Ayana. Hal mengerikan itu bisa tidak terjadi jika Hayam Wuruk tidak meninggalkan Ayana dalam jangka waktu yang lama.

Suara tangis Kusumawardhani memecahkan lamunan Hayam Wuruk, ternyata balita mungil itu terjatuh dari mainannya berbentuk kuda yang terbuat dari kayu. Sebelum Hayam Wuruk tiba untuk mengangkat Kusumawardhani, sosok Paduka Sori sudah tiba lebih dulu dengan wajah paniknya.

"Apa yang terjadi?" tanyanya panik. Ia melirik Hayam Wuruk dengan sinis, apalagi mendapati benjolan di kepala putrinya yang terlihat menyakitkan.

Hayam Wuruk menggaruk tengkuknya. "M-maaf, aku lalai kali ini. Tapi lain waktu—"

"Kau memang selalu lalai Hayam Wuruk. Kau tidak seperti seseorang yang aku kenal."

Kali ini Hayam Wuruk tidak dapat mendebat ucapan Paduka Sori karena dirinya memang salah. Ini bukan pertama kalinya ia melakukan kesalahan ketika sedang menjaga buah hati mereka. Hayam Wuruk kehilangan fokusnya dalam banyak hal dan sosok gagah itupun menyadarinya.

Suara Paduka Sori kembali terdengar. "Sebenarnya, apa yang terjadi padamu? Apa masih tentang gadis itu?"

"Gadis itu punya nama. Apakah sulit bagimu untuk menyebut namanya?" tanya Hayam Wuruk. emosinya terpancing dengan begitu cepat ketika menyangkut tentang Ayana. "Tolong berhenti melibatkan Ayana dalam setiap kekesalanmu padaku."

Mungkin jika Paduka Sori sedang tidak dikuasi oleh rasa kesal, wanita cantik itu tidak akan memiliki untuk menyahuti ucapan sang Raja. "Tapi pada kenyataannya kau memang berubah sejak gadis itu meninggal. Kau bukanlah dirimu lagi sejak tiga tahun yang lalu."

"Ini bukan karena Ayana. Ini—"

"Apapun tentang dirimu akan selalu melibatkan gadis itu. tidakkah kau sadar Hayam Wuruk? tidakkah kau melihat jika waktu sudah meninggalkanmu terlalu jauh di belakang?" tanya Paduka Sori dengan menggebu-gebu. "Sadarlah, Ayana tidak akan kembali meski kau menyesal ratusan tahun lamanya!"

Hayam Wuruk menatap Paduka Sori dengan begitu tajam. Dadanya begitu bergemuruh karena ucapan sang Ratu yang menggores perasaannya, tetapi Hayam Wuruk tidak ingin menimbulkan perdebatan panjang pada wanita itu. Hayam Wuruk memilih pergi meninggalkan sosok Paduka Sori dan sang putri begitu saja.

Ketika melihat punggung Hayam Wuruk menjauh, airmata Paduka Sori menetes. Ia sudah begitu jengah dengan sikap lelaki itu yang selalu saja meninggalkannya ketika mereka sedang membahas satu nama. Bukankah hal yang wajar jika sebagai seorang permaisuri Paduka Sori merasa terganggu dengan sikap Hayam Wuruk yang masih terbayang-bayang dengan kekasih masa lalunya? Bukankah wajar jika Paduka Sori mengharapkan perhatian lebih dari Hayam Wuruk?

The King and His Flower [Majapahit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang