Mungkin orang lain akan menganggap aku adalah wanita bodoh yang sangat naif. Entah di masa depan atau lampau, kelemahanku hanya satu. Memaafkan seseorang dengan mudah.
Aku tau itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Bukannya aku tidak menyadari hal ini, aku sudah sebisa mungkin untuk memperbaiki kelemahanku. Tapi, tetap saja kenyataannya tidak semudah berkata.
Meski semuanya tidak langsung kembali seperti semula, tapi aku berusaha untuk menghilangkan jarak kasat mata diantara diriku dan Hayam Wuruk.
Aku sangat-sangat kecewa dengannya. Bagaimana ia meninggalkanku pagi itu, menghilang tanpa sepatah kata. Aku masih merasakan nyeri setiap mengingatnya. Tapi, aku tidak bisa menampik jika rasa sakit itu muncul karena perasaan yang aku miliki untuknya.
Aku mencintai Hayam Wuruk dan ini menyakitkan.
"Kau tidak mau memotong rambutmu?" Hayam Wuruk duduk di belakangku sambil menyisir rambutku dengan jemarinya.
Hari ini, kami kembali mengunjungi air terjun yang menjadi tempat pertama kali lelaki itu menciumku.
Aku menoleh, bertanya kepadanya. "Kenapa?"
"Tidak. Hanya saja rambutmu cukup rapuh hingga rontok seperti ini." Hayam Wuruk menunjukan gumpalan rambut yang ada di telapak tangannya ke arahku. Aku cukup tercengang jika itu adalah rambutku karena ternyata jumlah rontoknya lumayan banyak.
Selama di masa lampau ini, aku tidak terlalu sering merawat diri termasuk rambutku. Apalagi hampir setiap hari aku selalu menggelung rambutku, jadi aku tidak menyadari jika rambutku bisa serontok ini.
"Aku akan meminta Ibu untuk memotongnya nanti." Ucapku. Hayam Wuruk mengangguk, ia kembali merapihkan rambutku dan menggesernya ke arah samping.
"Aku sangat merindukanmu..."
Setelah kata itu terucap, aku bisa merasakan sebuah tangan yang melingkar pada tubuhku dengan erat. Hayam Wuruk memelukku, menumpukan dagunya pada pundakku.
"Bagaimana...kabarmu?"
Apa itu pertanyaan canggung? Setelah kejadian di tanah lapang beberapa waktu lalu, tepat saat aku memaafkannya ini adalah pertama kali kami kembali bertemu. Ketika menanyakan hal ini, aku sungguh-sungguh ingin tau kabarnya.
Hayam Wuruk menghela nafas panjang dan mengeratkan rengkuhannya pada tubuhku. "Aku baik...meski sulit."
Aku menoleh, menatap Hayam Wuruk yang wajahnya cukup dekat dengan wajahku. "Begitukah? Apa kau mau bercerita?"
Dulu, sebelum terjadi masalah diantara kami rasanya setiap kata begitu mudah terucap. Aku tidak perlu memikirkan apakah yang aku ucapkan adalah hal yang tepat atau tidak. Aku mengatakan semuanya karena aku ingin, tapi sekarang selalu ada perasaan cemas karena takut ucapanku tidak tepat.
"Baiklah, kita mulai darimana? Hayam Wuruk sang Raja Majapahit, atau Hayam Wuruk kekasihmu?"
Aku mengulas senyum tipis ketika mendengar kalimat terakhir dari mulut Hayam Wuruk. "Aku ingin mendengar cerita tentang raja."
Hayam Wuruk mengangguk, lalu suaranya kembali terdengar. "Kau tau, setelah tragedi perang bubat kerajaan jadi tidak kondusif. Hal ini membuat kepalaku hampir pecah."
Begitukah? Bukannya Hayam Wuruk sudah menikah dengan Sri Sudewi? Lalu kenapa masih dipermasalahkan?
Rasa penasaran benar-benar menguasai diriku. Aku menggeser tubuhku sedikit agar bisa menyamping dan menatap Hayam Wuruk lebih leluasa ketika ia sedang bercerita.
Aku tidak mengucapkan apa-apa, tapi dengan sebuah tatapan mata Hayam Wuruk mengerti dan kembali melanjutkan kata.
"Beberapa Rakryan, dewan Saptaprabhu dan penjabat lainnya mulai mencurigai Mahapatih Gajah Mada."
KAMU SEDANG MEMBACA
The King and His Flower [Majapahit]
Fiction HistoriqueAda kisah yang mungkin tidak pernah tercatat di bukti sejarah manapun. Tapi kisah itu selalu kekal di hati dua insan yang saling terikat. Meski tidak terucap oleh kata, tidak tertulis oleh tinta rasa itu akan selalu ada. Tidak akan pudar meski suda...