Selamat membaca
___mohon maaf jika ada typo ___
🍁
"Janu mama kamu mengalami kecelakaan! Cepat ke Rumah Sakit Mitra KencanaDemi mendengar hal itu, kakinya langsung berlari menuju ducati biru miliknya. Melesat dengan kecepatan tinggi. Rasa khawatir itu menyerang hatinya, bayangan mengenai kondisi mamanya membuat Janu tidak bisa berpikir jernih dan melanggar lampu lalu lintas yang ada.
Berlari dengan tergesa di lorong rumah sakit. Janu tidak peduli pada tatapan orang - orang terhadapnya. Satu yang ada di pikirannya, ia haru segera menemukan dimana ruangan tempat mamanya berada sekarang.
Dan akhirnya berhenti. Janu berdiri di sisi ruangan yang bertuliskan "Ruang Icu".
Melangkah pelan. Janu berdiri di depan sebuah kaca yang lumayan besar. Netranya bisa melihat sosok perempuan terbaring tak berdaya di atas bangsal dengan perban dan peralatan yang menempel di badan.
"Mama...." Hatinya bergemuruh seketika.
"Kecelakaan parah membuat mama mu harus mengalami koma, Janu." Muncul suara berat di belakang tubuh Janu.
"Mama akan bangun kan, Om?" Suara Janu terdengar lirih, netranya tak lepas menatap wajah Lavya yang terpejam. Guratan lelah bisa ia lihat di sana.
Gemuruh hatinya kini menjadi sesak yang tertahan.
Kamal memegang bahu Janu, menepuknya pelan, "Kamu berdoa saja. Tapi, saya tau, Lavya akan kuat demi kamu, dia tidak mungkin meninggalkan kamu sendirian, anak kesayangannya."
Janu memilih bungkam. Tangannya menyentuh pelan kaca yang berada di hadapannya.
"Jangan tinggalin Janu, Ma," bisik Janu pelan.
___
Laki-laki kecil dengan baju super hero hulk itu berlari kecil ketika mendengar suara mobil yang memasuki gerbang.
"Papa!" teriak laki-laki itu melihat seorang laki-laki yang masuk dengan setelan kerja.
"Hai, jagoan." Laki-laki itu tersenyum, ber jongkok untuk mensejajarkan badannya dengan Sang Putra tercinta lalu merengkuh dalam dekapannya dengan satu tangan.
"Hari ini Janu tidak merepotkan mama, kan?" tanya Panji, laki-laki tersebut mengangkat Janu kecil, lalu berjalan menuju ruang tamu.
Janu kecil menggeleng, "Nda, Pa. Janu anak baik."
"Masa sih? Terus tadi yang acak - acakin kebunnya mama siapa ya sampe rusak dimana - mana." Suara perempuan muncul dari arah dapur, Lavya membawa segelas teh hangat, lalu menaruhnya di atas meja.
Janu kecil menunjukan gigi putihnya, menyengir, "Maaf, Papa."
Panji mendudukan dirinya, memangku Janu kecil. "Hayo, papa udah bilang apa sama Janu hm?"
"Janu nda boleh bikin mama sedih, nda boleh bikin mama marah, nda boleh bikin repot, pokoknya jagain mama selama papa pergi," ucap Janu kecil.
"Nah itu, terus kenapa di ingkar?"
"Kalau tadi Janu lupa, Pa."
"Janu dengerin papa ya. Kamu itu laki-laki, dan yang di pegang oleh laki-laki itu adalah ucapannya. Kalau Janu tidak bisa memegang ucapan sendiri, maka bukan laki-laki namanya," jelas Panji sambil mengusap rambut Janu kecil.
"Kalau suatu saat nanti papa pergi, Janu yang bakal gantiin papa jagain mama. Jadi Janu gak boleh kayak gitu lagi ya, harus belajar menepati janji."
Janu kecil mengangguk. "Janu janji jaga mama, Pa."
"Papa pegang omongannya loh."
Bayangan masa lalu itu tiba-tiba hadir mengingatkan Janu akan sesuatu yang selama ini yang ia lupakan.
Janji.
Hati Janu mencelos seketika, perasaan bersalah hadir mencubit hatinya.
Terlihat sebagai hal yang sepele. Tapi janji adalah janji.
Namun, Janu malah melupakannya.
Amarah membuatnya tanpa sadar menyakiti hati mamanya selama ini. Dan ia sudah mengingkarinya.
"Bodoh!"
Sebuah tepukan mengalihkan perhatian Janu. Mendapati Kamal sedang menyodorkan sebuah cup kecil ke arahnya.
"Kopi mungkin bisa menenangkan pikiranmu," kata Kamal seperti paham dengan wajah bingung Janu.
Janu mengambil cup kecil yang terlihat mengeluarkan sedikit asap itu, "Makasih, Om."
Kamal mendudukan dirinya di samping Janu, menyesal kopinya pelan.
"Lavya sangat menyayangi kamu, Janu. Kamu harus tau itu. Di balik sikapnya terhadapmu selama ini, kasih sayang itu tidak pernah pudar sama sekali," ucap Kamal pelan membuat Janu langsung menoleh.
"Saya yang salah, seharusnya cinta lama ini tidak perlu ada lagi terhadap mama mu," Kamal menghela nafas. "dan membuatnya rumit menjadi seperti ini."
"Maksud om apa?" Janu masih tidak mengerti.
"Dari semenjak masa sekolah menengah pertama, saya menyukai Lavya. Namun, tidak berani untuk menyatakan, hanya bisa menjadi pengagumnya. Ketika tepat saya ingin mengungkapkannya, ternyata Lavya sudah lebih dulu di jodohkan oleh Panji, papa kamu. Semenjak itu, saya memilih pindah, berusaha melupakan Lavya. Namun, kejadian di kantor saya waktu itu untuk pertama kalinya melihat Lavya lagi, perasaan itu ternyata masih ada. Dan bodohnya saya malah mengikuti hawa nafsu yang membuat semuanya sekarang berantakan," ungkap Kamal yang membuat Janu sedikit kaget.
"Kalau saya memilih abai waktu itu, mungkin Panji masih sama kalian sekarang," lanjutnya lagi.
"Semuanya udah terjadi, Om. Penyesalan om gak akan bikin papa kembali lagi," tutur Janu pelan.
"Kalau ada orang yang paling bisa di salahkan, maka saya yang pantas untuk itu."
Janu memilih bungkam.
"Saya pamit sebentar, ada urusan. Gapapa saya tinggal Janu?" Kamal berdiri dari duduknya.
Janu mendongak, lalu mengangguk, "Gapapa, Om. Hati - hati."
"Kabari kalau ada apa-apa ya." Menepuk bahu Janu, selepas itu kaki Kamal melangkah meninggalkan Janu sendirian di depan Ruang Icu.
Sekarang Janu sendiri, dengan pikiran yang berkecamuk.
Apakah selama ini ia sudah salah paham dengan mamanya?
🍁
Siap - siap untuk kalian dengan part selanjutnya :v
Vote dan komennya jangan lupa.
Sayang kalian ❤️Merkubear ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Fakboy Alim
Novela Juvenil[ Sudah terbit ] [ PART TIDAK LENGKAP ] Cerita ini pernah di ikutkan dalam event #35 part challenge ramadan series Best cover by eci_graphic [ Teenfiction - spiritual ] "Gue maunya jadi imam di hidup lo aja, gimana? _________ Si trouble maker dan fa...