Selamat membaca
___mohon maaf jika ada typo __
🍁
Sudah satu jam sejak pemakaman Lavya selesai, dan Janu baru saja sampai di rumah. Enggan sekali rasanya untuk masuk ke dalam, karena kenangan yang muncul nantinya akan menambah sesak di hatinya sekarang.Mengaitkan helm seperti biasanya, kakinya melangkah menuju pintu utama. Namun, bukannya mendorong handle pintu, Janu hanya berdiri termenung.
Ketika seseorang pergi, maka memori-memori indah dan buruk bersama orang itu akan datang bagai di putar bagaikan rekaman film.
Dan, Janu tidak sanggup akan hal itu.
Rekaman film itu malah membuatnya makin merasa bersalah. Mengingatkannya bahwa kesempatan untuk memperbaiki semuanya sudah hilang.
"Den, kok malah diem di luar? Ayo masuk."
Suara Bi Inu muncul, menatap dengan iba.Janu hanya mengangguk, lalu melangkah masuk. Bi Inu hanya menatap iba.
Kemeja hitam yang kini terlihat kusut, lalu mata yang sedikit sembab. Iya, Janu tidak malu mengakui kalau ia menangis.
Harus merasakan kehilangan yang kedua kalinya, kepergian papa dan sekarang mamanya.
Di saat Janu butuh dukungan. Dua sahabat yang ia harapkan, ternyata tidak datang ke pemakaman.
Kini, Janu benar-benar merasa sendirian.
Kemana semua orang yang dulu mengaku sahabat dan teman kepadanya?
Menatap ke arah ruang tamu yang terasa sunyi. Memori-memori itu kini hadir mengisi kepala, menampilkan bayangan dimana kini terlihat laki-laki dan perempuan dewasa yang tengah menenangkan laki-laki kecil yang menangis di dalam pangkuan.
"Masa baru jatuh segini aja udah nangis sih, cemen ah anak papa."
"Hua mama!" Laki-laki kecil itu makin menangis.
"Hush pa! Udah obatin dulu lukanya, kasian ini."
"Iya-iya, bentar." Panji- laki-laki itu mengambil kotak P3K, lalu berjongkok.
"Tahan ya, anak papa harus kuat kan laki-laki." Panji mengatakan itu sambil mengusap lutut Janu kecil menggunakan kapas yang sudah di beri alkohol.
"Hiks... perih." Janu kecil meringis pelan di dalam pangkuan Lavya.
"Tahan sebentar ya, biar lukanya cepet sembuh nanti," ucap Lavya menenangkan.
"Nah, udah selesai." Panji membereskan kotak P3K, lalu berdiri menyimpan di tempatnya.
"Udah ya, jangan nangis lagi anaknya mama." Lavya menciumi wajah Janu kecil yang terlihat merah karena menangis tadi.
"Nanti kalau mama yang luka, siapa yang bakal lindungin mama?" Janu kecil menatap Lavya.
"Kan ada papa," jawab Janu kecil.
"Kalau papa gak ada, gimana?"
"Papa mau pergi?"
"Enggak sayang," Lavya mengusap rambut Janu kecil dengan sayang. "ini hanya perumpamaan."
"Aish!" Janu kecil memajukan bibirnya ke depan dengan dahi terlipat."Janu gak ngelti, Ma."
Lavya hanya tertawa, lalu kembali menciumi pipi anak kesayangannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fakboy Alim
Fiksi Remaja[ Sudah terbit ] [ PART TIDAK LENGKAP ] Cerita ini pernah di ikutkan dalam event #35 part challenge ramadan series Best cover by eci_graphic [ Teenfiction - spiritual ] "Gue maunya jadi imam di hidup lo aja, gimana? _________ Si trouble maker dan fa...