Aku berjalan di selasar menuju kelas, melewati lokerku. Kala aku mencapai loker, aku melihat kertas yang di-tag dengan stiker kuning pastel di pintu kokerku. Sepucuk kertas yang dipotong berbentuk belah ketupat dan dilipat sedemikian rupa. Ah... aku mendapati sepucuk surat lagi, bersampul warna pastel, merah bungur lembut. Ada harum bunga lily tercium lamat-lamat. Aku sobek pelan sudut atas bagian belakang amplopnya.
"Hai, ini aku lagi, Pengagum Rahasiamu. Apa kabarmu? Pasti baik baik saja. Udah ya, sekian dulu surat ini'
Pengagum rahasiamu
Begitulah isi suratnya. Tidak umum, mengherankan, pelik dan ganjil. Sesungguhnya surat dari siapa ya? Mungkinkah dari Budi? Atau jangan-jangan Bagus, seperti kata Anita? Kenapa tiba-tiba, tanpa sebab yang pasti, kemarin dia menegurku? Seperti hendak mengajakku bicara berhampiran. Tapi aku malah canggung dan meninggalkan dia? Atau Bono yang tak disangka bertabrakan denganku?
Aku lipat surat itu lalu aku masukkan ke saku rok. Setelah itu aku ke kelas. Aku anak IPS Satu. Dan, benar saja aku telat masuk ke kelas. Akibat aku kelamaan menerka-nerka penulis surat yang tidak biasa itu.
"Aura, kenapa kamu telat masuk jam pelajaran saya?" tanya Bu Ningsih.
"Hmm... saya abis ke loker saya Bu."
"Ngapain kamu ke loker? Kamu kan tau sudah masuk jam pelajaran saya." katanya dengan nada tinggi.
Oh iya, Ibu Ningsih adalah Guru Matematikaku sekaligus Wali Kelasku. Murid-murid menjuluki dia Ibu Mut kependekan dari "mutungan". Dia dikenal begitu karena pemberangnya.
"Maaf Bu, tidak akan saya ulangi lagi."
"Bagus, duduk!"
"Baik, Bu," kataku sambil menunduk malu.
"Hei, kamu kenapa telat masuk kelas?" Desis Laura perlahan-lahan. Laura adalah teman sebangkuku. Banyak yang bilang aku dan Laura serupa anak kembar. Bukan kembar fisik, tapi kembar "vocal", karena nama kami ada bunyi "aura"-nya. Hehehe... gelo, emang ada jenis kembar kayak gitu?
"Oh ini... aku dapat surat lagi."
"Kamu dapat surat dari siapa?" Ups, mulutku lancang. Laura kan belum tahu. Dan tidak mesti tahu soal surat tersebut. Haruskah semua orang tahu bahwa aku punya Secret Admirer? Tapi sesuatu yang tersembunyi dan sukar dipahami sudah terbuka.
"Hmmmm... I... Iya... Ngga tahu juga sih... Nggak ada namanya."
"Aura... Laura... jangan mengobrol!" Kata Ibu Ningsih. "Tadi saya menerangkan apa?"
"Hmm... itu tentang fungsi komposisi dan invers," kilahku sekenanya.
"Benar, baiklah pelajaran saya lanjutkan."
Fiuhh... untung saja sepintas tadi aku masih mendengar sepenggalan kata Ibu Ningsih. Kalo tidak, bisa kena omelan lagi aku, apes yang paripurna.
Bel istirahat pun berbunyi. Aku bercepat-cepat ke kelas 12 IPA Satu. Kelas Anita dan Retno. Surat baru dari pengagum rahasia mengisap benakku. Lekas-lekas ingin kusampaikan berita ini pada mereka.
"Ihh kamu dapat surat lagi? Mau dong dapat surat dari pengagum rahasia," kelakar Retno.
"Hei yang berhak menggoda Aura itu aku... kamu copy paste aku nih Ret. Hak Cipta adalah hak eksklusif penciptanya," sergah Anita. Kedua anak ini memang jenaka. Dialog antar mereka berdua kerap seperti sandiwara ringan yg penuh dengan kelucuan.
"Hehehe... Maaf aku kan gak tau, kamu pernah bilang gitu," kilah retno tertawa.
"Udah, udah... kok pada berantem. Mendingan kita cari tau siapa pengirim surat itu." leraiku.
"Iya juga sih... Benar kamu Ra. Kita harus tau siapa pemberi surat itu. Menurutku sih Budi. Karena, masak dia tiba tiba tingkahnya aneh? Kayaknya dia yang ke loker kamu deh, Ra. Aku yakin banget," gaya Anita serius. Seperti seorang Profesor jenius usai melakukan penyelidikan eksperimental yg mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi dan argumentasi.
"Emang kamu lihat?" Tanyaku lugu.
"Ya nggak sih. Aku nggak lihat. Tapi, aku pernah iseng aja lihat dari kejauhan, seseorang ke loker kamu. Aku ngga pasti siapa. Dia langsung pergi begitu aja," urai Anita panjang lebar.
"Jangan su'udzon dulu itu dari Budi. Aku mulai percaya kok kalo itu dari Budi." Sahutku dengan nada ragu. Niatnya aku mau meledek Anita balik.
"Itu sih karena kamu ngarep." Balas Anita tertawa. Pikiranku merambang. Perasaanku teracak-acak tak dapat dilentukkan. Dia tidak tahu. Tadi itu aku sedang meledek balik atas teorinya tentang Bagus adalah Sang Secret Admirer .
"Ih, kamu Nit. Balas dendam ledekanku aku. Suka banget ya ngeledekin aku," kilahku pening.
"Bangeeet! Aku suka lihat kamu bingung... hehe."
"Ih... Kamu mah."
"Tuhkan ngambek. Lucu deh gemes, hehehe." Kata Anita menggelikan hati.
"Sudah, sudah. Kok kalian malah berdrama ria sih, Ra, Nit? Udah ah, kamu juga. Aura dan Anita, kalian ini sahabatan loh, jangan ledek-ledekan terus," lerai Retno.
"Bener tuh," kataku pura-pura mangkel.
"Ya, maaf. Aku kan Cuma bercanda," kata Anita jenaka.
"Iya, tapi berlebihan," sungutku .
"Sudah, sudah. Ya Allah, kalian ini kayak kucing dan anjing saja," tukas Retno.
Akhirnya kami pun damai mendengar kata bijak bestari Retno. Susah deh kalo Retno sudah menggunakan akal budinya yang menyembul langit.
Aku masih hilang akal, siapa penulis surat itu? Tiba-tiba saja banyak yang bertingkah aneh. Ada Bono yang sekonyong-konyong muncul? Atau Pak Min dengan pandangan misteriusnya? Apa benar yang dikatakan Anita? lalu aku teruskan mengobrol dengan Anita dan Retno.
"Pasti dari Budi deh. Aku yakin banget. Gerak geriknya itu loh." Urai Anita dengan sungguh-sungguh.
"Iya sih.....Aku juga curiga. Dia aneh banget."
"Aneh gimana?" tanya Anita dan Retno serentak.
Upps aku keceplosan nanti mereka geer deh. Pasti bakal mereka akan mencecar tanya pada aku.
"Iya aneh. Masak, kemarin dia seperti ingin ke lokerku," tukasku.
"Kamu udah mulai curiga Ra?" selidik Anita cermat.
"Iya nih. Soalnya kemarin aku bersilang-jalan sama dia. Kayak aneh gitu Dia", tuturku sungguh-sungguh.
Aku memang pernah bilang kalau aku itu tidak acuh padanya. Tapi aku menaruh hati pada suaranya yang bagus. Dia pernah satu waktu bernyanyi di sudut taman dengan diiringi gitar temannya. Baik dan sedap didengar suaranya. Memang aku tidak suka lagak lagunya. Tapi aku senang suaranya dan postur tubuhnya yang tinggi langsing. Hidungnya mancung sama rupa orang Arab. Ya, gitu deh. Pokoknya kamu harus kenal dengannya.
Sepertinya aku sudah mulai bisa melepaskan pikiranku dari bayang-bayang Bagus. Heh, aku lagi mikir apa sih? Memang Budijuga punya rupa elok dan gagah, tapi masih gantengan Bagus kemana-mana. Ihh aku kenapa sih? Kok aku kepikiran sama Budi? Apa aku sudah mulai terpikat padanya? Seumpama benar dia pengemar rahasiaku, aku harus bisa menerima dan melupakan Bagus. Tapi Budi anak milenial, tidak mungkin dia yang kasih surat itu untukku. Kalo mungkin benar, it's okay. Aku terima apa adanya aja.