Hari ini adalah hari yang sangat Bahagia bagiku, karena ibu datang dari Makassar meskipun Cuma sehari. Begini ceritanya:
Aku yang sedang tidur, tiba tiba dibangunkan oleh seseorang yang suaranya lembut sekali.
"Aura, ayo bangun". Aku seperti mengenal suara itu. Itu seperti suara... ? Batinku setengah sadar. Mataku belum membuka. Dunia mimpi dan dunia jaga memperebutkan ruhku. Loadingku ke dunia nyata berkali-kali buffer. Tidak kunjung loaded 100 %.
"Aura, ayo bangun! Ini ibu".
"Ibu... !" jeritku sambil memeluk erat. Tiba-tiba jiwaku terisi penuh. What... mimpikah aku? Ada Ibu di sisiku di pagi hari?
"Iya, ini Ibu."
"Kapan Ibu datang?"
"Tadi malam nak, tapi kata Ayah, kamu sudah tidur. Ya sudah Ibu ngga tega bangunkan kamu. Ibu tidur juga. Capek, perjalanan jauh Jeneponto - Makasar - Jakarta. Panjang melelahkan."
Aku sangat rindu sekali dengan Ibu. Sudah sekitar 2 tahun aku tidak setempat tinggal dengan beliau. Sejak Ayah kerja di Jakar ta, Ibu tetap tinggal di Bontosunggu, sebuah desa di kecamatan Tamalatea, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Bontosunggu, Ibukota Kabupaten Jeneponto sebuah Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 749,79 km2 dan berpenduduk lebih dari 330 ribu jiwa.
Memang aku pernah bilang kepada kalian bahwa ibuku seorang ibu rumah tangga yang tinggal di desa. Sesekali, jika ada cukup uang ibu pergi ke Jakarta. Karena ibu tinggal bersama Datuk dan Nenekku di desa yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar dan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan.
Tapi Datuk dan Nenekku bertani. Datuk dan Nenek mengusahakan tanah dengan bercocok-tanam jagung hibrida. Aku tahu mereka sudah cukup umur. Tapi, bukan berarti mereka tidak bisa bekerja. Terkadang aku kasihan dengan mereka. Sudah renta tapi masih sibuk bekerja.
Ibuku adalah anak ke-5 dari 7 bersaudara. Sebelum ke Jakarta, Ayahku seorang kontributor berita sebuah televisi swasta. Kontributor atau penyumbang liputan di derah tapi secara struktural tidak tercantum dalam struktur organisasi redaksi. Meskipun Ia terlibat di bagian redaksi secara fungsional. Oleh Bos di Jakarta, Ayahku dinilai bagus kinerjanya, sehingga ayahku ditarik ke kantor pusat di Jakarta. Kami pun sekeluarga diboyong Ayah ke Jakarta. Tapi Ibu tidak lama di Jakarta. Karena tak tega dengan Datuk dan Nenek yang sudah tua, Ibu kembali ke desa.
Aku datang ke sekolah lebih pagi hari ini. Aku tak tenang dan ingin segera menguak tabir siapa penulis surat misterius. Surat tanpa identitas ini jadi muatan pikiran yang membawa kesukaran bagiku. Sebuah teka-teki soal dengan kisi-kisi samar.
Hari ini adalah hari senin yang sangat cerah. Saat upacara bendera akan berlangsung, pelan-pelan gerombolan titik-titik air mengelompok di atmosfer di atas sana. Mega menjelaga serupa warna arang. Dan benar titik-titik air, yang karena proses pendinginan, berjatuhan. Hujan turun. Aku senang sekali hari ini tidak upacara. Aku seperti ingin melompat rasanya. Terbebas dari acara seremonial yang menjemukan. Aku pun ke lokerku untuk mengambil bekalku. Karena, perutku berbunyi sangat kencang tidak seperti biasanya. Hari ini aku membawa roti. Tapi saat aku membuka lokerku ada sepucuk surat yang isinya:
Hai, ini aku lagi pengagum rahasiamu. Kemarin, enak gak kuenya? Aku berharap kamu suka kuenya. Kamu makan yang banyak ya. Biar sehat.
Dari yang mengagumimu.
Wow...aku kaget sekali. Lagi lagi surat tersembunyi. Akan kuberitahu hal ini pada Anita. Lagi-lagi aku ke kelas Anita untuk menyampaikan kabar yang tidak terlalu penting baginya. Tapi terlebih-lebih bernilai bagiku. Berhubung ini jam kosong, aku pun berlari kecil ke kelas Anita.
Sesampainya di kelas, Anita sedang penuh perhatian mempercakapkan sesuatu dengan Retno.
"Hei Nit, sini deh."
"Loh kenapa Ra? Kamu dapat surat lagi ya?" Tukas Anita segera.
"Ups.... " Anita menyadari kesilapannya.
"Surat? Surat apa?" Tanya Retno bingung.
"Boleh ya Ra?" Mata Anita memohon pembebasan dari tuntutan karena melakukan kekeliruan. Aku menghela napas dan tersenyum, membalas dengan pandangan mata pengabulan."Itu... Aura beberapa kali dapat surat gelap."
"Berisi ancaman?" sergah Retno cemas.
"Bukan ancaman, malah kekaguman. Secret Admirer," jelas Anita.
"Wow... Kamu diam-diam sudah jadi selebritis Ra," kata Retno seperti takjub.
"Ah, kamu. Cuma seorang pengagum yang bersembunyi." Sesalku.
Pelajaran jam kedua akan segera dimulai. Aku bergegas meninggalkan Retno dan Anita di kelasnya, aku gerakkan kakiku ke jurusan kelasku sendiri. Aku akan belajar seni pencatatan dan pengikhtisaran transaksi keuangan dan penafsiran akibat suatu transaksi terhadap suatu kesatuan ekonomi. Aku akan belajar akuntansi.
Dua jam menggumuli aktiva dan pasiva, tiba tiba kruuk... perutku berbunyi, alamat rongga pencernaanku harus diisi. Padahal tadi pagi aku baru makan roti. Di selasar sekolah aku jumpa Anita dan Retno yang baru keluar dari kelas mereka.
"Loh Ra, kamu lapar ya?" tanya Retno.
"Hehe... Iya nih anterin aku ke kantin yuk," kataku.
"Ayuk kebetulan aku lapar nich."
''Kamu mah selalu lapar Nit hehe," ledekku.
Kami pun bercanda ria sambil berjalan menuju kantin. Itulah hari istirahat kami.
