Di pagi hari yang cerah, pada jam istirahat pertama, aku bersandar pagar lantai 4 sekolah, memandang ke lapangan basket di bawah.
"Aura... bumi ke Aura..." suara Anita dari lapangan diselingi tawa kecil. Tingkahnya seperti petugas control ruang angkasa yang sedang mengontak kosmonotnya. Aku melambai. Anita bergegas lari ke lantai 4.
"Aura...bumi ke aura..." suara Anita mendekat seraya tertawa.
"Eh Nita, ngapain kamu ke sini?"
"Aku mau samperin kamu lah. Nanya lagi? Ngomong-ngomong, kamu lagi lamunin apa?"
"Aku lagi lamunin kamu hehe."
"Kamu ledekin aku ya?" tanya Anita.
"Ih gak lah bercanda..." kataku tertawa renyah.
Tiba tiba datanglah Retno.
"Loh ngapain kalian di depan kelas? Abis ngegosip ya?"
"Ini... sahabatku yang satu ini lagi lamunin aku"
"Ih... bener Ra... Ya ampun Nita..." sergah Retno.
"Ih apa sih kamu Nit, aku kan cuma bercanda malah bilang ke Retno lagi." Rajukku.
"Ya udah dari pada kita pikirin soal itu... mending kita beli makanan aja dikantin... Aku tunggu kalian juga..." kata Anita.
"Yuk, nanti keburu masuk."
"Yuk," kataku dan Retno berbarengan. Kami lari-lari kecil di selasar. Dari kejauhan kulihat Pak Min mengawasi kami lama. Aku terkesiap, kenapa Pak Min selalu begitu?
Di kantin kami makan cepat. Karena, waktu sudah mepet. Bel masuk pun berbunyi tanda aku harus masuk kelas kembali. Karena ada pelajaran Bu Ningsih, aku pun berlari kecil menuju kelasku. Sesampainya di kelas, Ibu Ningsih sudah siap dengan spidol di muka white board, dan anak-anak sudah dengan buku tulisnya masing-masing.
"Aura ini kedua kalinya kamu telat di kelas saya.?" Bu Ningsih maunya setiap siswa sudah siap di mejanya ketika dia masuk kelas. "ke mana saja kamu?"
"Um...mm anu Bu." Aku mendadak mengalami gangguan bicara. Tiba tiba datanglah Laura dengan muka yang murung. Ia masuk kelas dengan kemasygulan sepertinya dia ada masalah.
"Loh laura, kamu kenapa?" tanya Bu Ningsih. Tangis Laura pecah seraya duduk di sampingku.
"Aura, kamu tau kenapa Laura begini?" tanya Bu Ningsih sambil mengelus-elus pundak Laura.
"Saya... kurang... tau Bu." Jawabku gugup tidak keruan. Laura terus terisak dengan tangan menutup mukanya.
"Bu... bisa kasih saya berdua bicara dengan Laura di luar?" usulku.
"Boleh kok Aura temenin ya."
"Iya bu."
Kami pun ke luar kelas dan mengobrol.
"Kamu kenapa Laura? Ada masalah? Cerita aja ke aku. Aku kan teman kamu."
"Umm ini Ra... Ayahku baru saja meninggal." Laura sesenggukan.
"Ya Allah, maaf ya Laura. Soal itu, kenapa kamu gak cerita aja ke Bu Ningsih?"
"Umm aku gak berani Ra bilang ke Bu Ningsih."
"Loh kenapa Laura? Beliau kan wali kelas kita. Biar pun beliau galak tapi beliau tetap Ibu Guru kita. Beliau harus tau masalah kita. Apalagi kabar duka kayak gini, kenapa kamu gak bilang aja?"
"Ummm... aku gak berani Ra. Kamu aja yang bilang. Aku takut"
"Ya udah deh, yuk kita ke kelas lagi."
"Ok Ra... Makasih ya."
"Apa sih yang nggak buat kamu. Kamu kan temen aku."
Kami masuk kembali ke kelas.
"Bu saya boleh bicra sebentar sama ibu di luar?" Aku menghampiri Ibu Ningsih.
"Boleh kok... yuk! Laura kamu duduk ya... Ibu mau bicara dulu sama Aura."
"Baik Bu!"
"Ada apa aura? Tadi Laura bilang apa?"
"Itu Bu, Laura bilang ke saya kalo Ayahnya baru saja meninggal."
"Oh Ibu turut berduka cita buat. Ibu panggil laura dulu ya."
"Iya bu."
"Kamu tunggu sini aja nanti antar Laura pulang."
"Siap bu."
Bu ningsih pun memanggil laura. Lalu aku lihat Laura sudah mengendong tasnya.
"Anterin ya Aura. Kalo gak kamu telpon aja keluarganya."
"Baik Bu. Saya anterin sampe rumahnya aja."
Itulah hariku hari ini. Ini adalah hari yang menyedihkan buat Laura dan kami semua. Tapi aku senang bisa membantu temanku yang satu ini, mendampingi Laura di kala duka.
