Hari ini di sekolah adalah hari yang biasa-biasa saja. Banyak anak yang sedang bercanda-ria dan mengobrol . Dan ada pula yang berlari-larian, tapi ada juga yang bermenung-menung. Sedangkan aku menikmati pemandangan hiruk-pikuk seraya mengobrol asyik dengan Anita. Aku lebih suka menghabiskan waktuku bersama Anita dan Retno. Ya... itulah hariku yang biasa-biasa saja, bisa dibilang begitu. Mungkin keseharianku berbeda dengan yang lain. Tapi bisa kupastikan aku orangnya tuh asik... Eaaaaak.
Bel masuk pun berbunyi. Tibalah saat masuk ke kelas. Aku tak sabar karena hari ini pelajaran sejarah. Aku tipe anak yang suka sejarah. Ya, aku tahu tipeku ini berbeda dengan yang lain. Biasanya teman temanku, beberapa lebih suka sosiologi, ekonomi, ataupun geografi. Pun ada yang menyukai matematika. Aku juga sih... termasuk yang paling bagus nilai matematikanya... hehe...
Cita citaku menjadi seorang pengusaha. Punya kantor bagus dan manejemen rapih. Aku itu orangnya ceria, murah senyum, dan masih banyak lagi.
Tapi yang kuherankan kenapa aku sering dipanggil "alien" ya sama budi? Budi lagi Budi lagi kenapa coba aku selalu memikirkan Budi belakangan ini. Aneh.
Mungkinkah aku sudah mulai melupakan harapanku bersama Bagus? Atau aku relakan saja Bagus untuk menjadi sahabatku? Ya jadikan sahabat seperti kata Anita. Aku harus menjadi temannya bukan pacarnya. Huh... Rasanya otakku ingin meledak saat memikirkan semua itu. Aku bingung, hari-hari meredakan dorongan impianku berpacaran dengan Bagus, dan jadi sekedar teman biasa. Atau Budi aja sebagai pacar? Menurutmu gimana ya?
Tiba-tiba terdengar suara yang memanggilku dari kejauhan. Membuyarkan lamunanku, menyerak ke mana-mana. Suara itu semakin kencang memanggilku.
"Aura...! Ke kantin yuk!"
Eh itu kan suara Anita. Aku menoleh dan menjawab, "Ok... Nit aku kebetulan lapar", Tukasku gembira.
"Kamu lagi lamunin apa sih Ra? Kebiasaan deh." Ujarnya
"Oh nggak Nit... Biasa..." Aku senyum menunduk. Andai kamu tahu Nit, aku lagi kepikiran: siapa pemberi surat gelap itu? Budi atau Bagus? Bono pernah dengan gugup menabrakku? Atau Pak Min yang kerap memandangiku dengan tatapan aneh? Bisa saja kan Pak Min.
"Dengar-dengar Pak Min, anaknya yang sebaya dengan kita, baru meninggal beberapa bulan yang lalu." Ceritaku sambil jalan.
"Oh inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, aku baru tau lo Ra. Kamu tau dari siapa?"
"Nggak sih... aku denger aja... teman-teman membicarakan soal anak Pak Min. Katanya ketabrak mobil gitu. Tapi nggak tau bener apa nggak."
"Oh gitu ya Ra, kasian ya Pak Min."
"Yuk ke kantin," ajakku.
"Yuk, Ra. Aku lapar nih kebetulan hehe. "
Akhirnya kami pun ke kantin. Kami membeli bakso. Makanan favorit kami.
"Maaf ya dek, bakso uratnya habis." kata Abang Tukang Bakso.
"Adanya tinggal apa bang? Kami pesan itu aja ya. "
"Tinggal Bakso kecil dek, ngga apa-apa kan?"
"Iya kok Bang ngga apa-apa. "
"Ok dek, ditunggu ya. "
"Pesanan saya yang pake baso urat buat Aura aja Bang." Celetuk Bono tiba-tiba.
"Eh, Bono... uda duluan di kantin?" tanyaku melonjak pelan.
"Lah dek Bono gimana?" Abang bakso tak tetap hati sambil memegang mangkok baso yang akan disiram kuah.
"Saya ngga jadi, Bang... biar buat Aura aja. Aku duluan ya Ra." Bono ngeloyor meninggalkan kami dengan pandangan heran.
"Itu Bono teman sekelas Budi kan?" tanya Anita mencoba meyakinkan. Aku mengangguk.
"Ini basonya sudah." Abang baso meletakan mangkok baso di atas meja di hadapan kami.
"Ayuk makan," ajakku penuh selera. Akhirnya menyantap tandas bakso itu tanpa sisa biar cuma kuah. Hehehe... Setelah itu kami pun naik ke kelas.
