Keesokan harinya, aku ke kelas Anita . Sudah Panjang rentang waktu rasanya aku menunggu Anita di luar kelas. Tapi, dia tidak muncul.
"Hai, Aura lagi ngapain?"
Bagus tiba-tiba saja menyapaku. Deg... jantungku berdenyut cepat, bersuara keras dentamannya di kepalaku, berdebar lebih kuat dari pada biasa. Seperti ingin copot.
"Eum... lagi lagi nungguin Anita. Iya... Nungguin Anita", jawabku gugup. Kepalaku riuh tidak keruan bunyinya.
"Oh, Anita sudah keluar dari tadi. Aku tadi melihatnya. Dia tadi pergi ke kantin bersama Retno".
"Oh gitu ya. Makasih ya Gus. Aku duluan".
"Iya. Dah Aura...."
"Dah".
Aku melangkah mengarah ke kantin sekolah. Di sayap kanan sekolah. Sebuah ruang di sudut sekolah tempat berkumpul bagi para murid. Tempat para siswa pesan, ambil, bayar dan duduk mengisi lambung kosong mereka dan membasahi kerongkongan dari dahaga. Kantin riuh disebabkan oleh obrolan siswa-siswi yang makan bersama.
Aku mencoba mencari Anita dan Retno. Ah, itu dia mereka.
"Retno... Anita. Aku ada berita gembira nih," kataku sumringah. Kurasa kebahagiaan, yang sangat besar hingga nampak jelas, terlihat di wajahku. Senyumku sangat lebar dan raut muka kurasa berseri.
"Apa Ra", kata Anita dan Retno serempak.
"Aku baru saja ngobrol sama Bagus."
"Kok bisa... Dimana?" tanya Anita.
"Di depan kelasmu Nit."
"Emang kamu ngobrol ama dia Ra? Beruntung banget. Aku juga pengen dong." kata Retno. "Bagai bulan jatuh ke riba."
"Apaan tuh?" ujarku tak paham.
"Maksudnya: bagai mendapat keuntungan yang besar dengan tidak disangka-sangka." Retno tertawa geli melihatku.
"Kamu sama saja dengan Anita, Retno. Selalu pingin ngeledek aku." Sungutku manja.
"Mungkinkah dia Sang Secret Admirer?" Cetus Anita tiba-tiba.
Aku termenung seperti hilang akal. Raut mukaku pasti rata bersahaja. Teori Anita tidak berpatutan buatku. Mana mungkin cowok supel dan popular sembunyi-sembunyi menyatakan perasaan hati lewat surat tanpa nama.
"Iya kan kamu baru cerita kemarin. Sabar ya neng, nanti aku bantu carikan pelaku sesungguhnya ya. Iya gak Tno?" kilah Anita membela diri.
"Pasti dong detektif Anita dan Retno siap membantu hahaha," usik Anita.
"Ah kamu Nit, bisa aja bikin aku ketawa hehe.'' Kataku puas dan lega, hilang segenap susah dan kecewa .
"Iya dong... Nita gitu loh... emang beda." seru Retno riang.
Kami pun tertawa. Sepanjang waktu istirahat kami bersenda gurau dan berseloroh ria di kantin sampai tiba tiba bel masuk berbunyi.
"Eh, udah bel tuh. Yuk, ke kelas."
"Yuks, aku udah ga sabar pelajaran fisika hari ini," kata Retno.
"Apa sih Ret... Biasanya juga waktu pelajaran fisika kamu tidur."
"Hehehe, emang biar bisa buru-buru tidur. Aku ngantuk soalnya." Kami tertawa nyaring dan keras. Retno pantas jadi komik stand up comedy.
"Nanti kamu kena marah pak Hendry lagi. Mau?" Goda Anita.
"Mau, hehehehe." Kami lanjut ketawa.
"Teman-teman sudah ngobrolnya. Yuk ke kelas. Nanti keburu guru masuk." Kataku. Kami tiba-tiba insaf, kegembiraan ini harus terputus. Tugas belajar sudah menanti. Akhirnya aku, Anita dan Retno menuju ke kelas masing-masing.