3

48.4K 8.3K 5.5K
                                    

–––––
〃ABINAYA〃
–––––

Dari jutaan titik, hanya satu yang menarik sang putera langit

Sekarang tanyakan pada Abinaya, seberapa cerah langit hari ini?

–––––

JENO dengan tampilan nyeleneh menjadi atensi sore ini. Sepatu pantofel hitamnya kini sudah berganti dengan sandal jepit berwarna hijau metalik, tidak lupa dengan blazer yang kini dikaitkan pada tali ransel hitamnya. Rambutnya yang pagi tadi tertata rapi kini terhalang oleh topi putih dengan tanda centang hitam kualitas KW 5 di tengahnya.

Dilihat dari berbagai sisi, tampilan Jeno terlalu nyentrik untuk ukuran orang yang memiliki jabatan cukup penting di perusahaan.

"Pulang Pak Abi?" Tanya salah satu satpam yang berjaga di depan lobby.

"Iya, Pak Anton kebagian shift dua ya? Saya baru liat soalnya." Balas Jeno ramah.

"Iya, Pak."

Jeno mengangguk dengan ucapan Pak Anton sambil menggosok-gosok ibu jari kanannya pada celana. Pak Anton yang melihat tingkah Jeno terkekeh, ada saja kelakuan unik dari manajer pemasaran yang terkenal tampan itu.

"Kenapa Pak?" Tanya Pak Anton.

"Ini saya mau finger print tapi takut sidik jari saya gak kebaca lagi sama mesinnya. Soalnya kemarin sore saya habis nyabit rumput sama benerin genteng."

Pak Anton mengernyit heran, "Loh? Emang apa hubungannya?"

"Kalo tangan kita kasar sama banyak baret-baret mirip tangan saya, sidik jarinya susah kebaca sama mesinnya. Saya udah buktiin loh, tahun lalu saya gak bisa finger print seminggu gara-gara abis bantuin ngebajak sawah di kampung." Pak Anton tertawa dengan curhatan Jeno.

Setelah memastikan jika sidik jarinya bisa terbaca, Jeno lantas menempelkan ibu jarinya pada mesin. Hingga setelahnya terdengar suara 'terima kasih' dari mesin, yang artinya Jeno sudah mengisi daftar hadirnya hari ini. Ia cukup trauma dengan kejadian tahun lalu dimana gajinya dipotong sebesar dua puluh persen karena tidak bisa mengisi daftar hadir selama satu minggu berturut-turut. Alasannya tentu saja karena tangannya yang kasar dan beberapa goresan luka karena membantu ayahnya di sawah dan ladang, sehingga sidik jarinya tidak terbaca oleh mesin.

"Duluan ya, Pak Anton."

"Siap, hati-hati juga Pak."

Belum juga Jeno melangkahkan kaki keluar lobby, Somi dengan langkah terburu menarik ransel yang dipakai Jeno membuat pemiliknya oleng. Wanita jangkung itu menampilkan senyum lebarnya saat Jeno menatapnya dengan wajah bingung.

"Pak Abi, besok jam setengah delapan harus sudah berkumpul di aula. Besok peresmian direktur baru kita takut Bapak lupa." Ucap Somi.

"Kenapa harus pake acara lari-lari begitu? Kenapa gak ngechat saya aja?" Tanya Jeno bingung dengan tingkah sekertarisnya itu.

"Gak bisa, Pak! Saya mau ngomong langsung aja biar jelas."

Somi menggaruk pipi kanannya salah tingkah, "Terus saya juga udah nyiapin pakaian buat Pak Abi besok. Pokoknya setelan punya Bapak udah saya gantung rapi di balik pintu."

"Loh? Kan saya biasanya pakai dari rumah. Gak perlu repot-repot ah!"

"Gak! Pokoknya Bapak harus pake setelan yang udah saya siapin. Bapak itu visualnya departemen pemasaran, jadi besok Bapak harus jadi yang paling top!"

ABINAYA | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang