–––––
〃ABINAYA〃
–––––Saat dimana seseorang menempatkan tangan
Disana tanggung jawab dipertanyakan
Mampu kah memikulnya sampai mata tertutup dan raga tak lagi memijak bumi
Seperti matahari yang bertanggung jawab menyinari seluruh alam semesta
Setia sampai waktunya dihancurkan di hari akhir oleh Sang Pencipta–––––
JENO terus memandang struk ATM di tangannya sejak beberapa menit lalu. Kemarin gaji beserta tunjangannya baru saja cair dan Jeno baru sempat mengeceknya hari ini. Ia terus menghitung angka nol yang tertera disana.
Ada banyak. Jika dibelikan saat itu juga satu bulan gaji Jeno cukup untuk membeli satu unit Yamaha Lexi S ABS.
Gaji Jeno yang sudah bisa menyentuh angka dua puluh lima juga sangat sebanding dengan beban kerjanya yang berat. Karena ia adalah seseorang yang mengepalai sebuah departemen dengan beberapa divisi di bawahnya. Tanggung jawabnya pun tidak main-main.
Tapi pada hakikatnya manusia akan tetap merasa kurang berapapun penghasilan mereka. Jeno juga mengalaminya sekarang.
Seharusnya jika dilihat dari angka, penghasilan Jeno sudah bisa disebut fantastis. Tapi saat Jeno mengkalkulasi semua kebutuhannya saat ini justru membuatnya cukup keteteran. Jumlahnya terlalu pas dengan kebutuhannya dan tidak ada sisa sama sekali.
Mengambil selembar kertas HVS dan pena di saku blazernya, Jeno mulai menuliskan perkiraan pengeluaran-pengeluaran yang harus dibayar. Ia sampai kaget sendiri jika uang sebanyak itu bisa jadi begitu kecil. Terlebih Jeno tinggal di Jakarta yang serba tidak murah.
Biaya hidup Jeno sendiri termasuk kontrakan, makan, tagihan, dan pengeluaran tak terduga saja bisa sampai delapan juta perbulan. Belum lagi sekarang ditambah perawatan terapi Bapak yang sangat mahal, uang semesteran dan bulanan Jauzan beserta biaya hidupnya, modal dagang untuk emak, uang untuk renovasi rumah yang sempat terhenti karena kecelakaan Bapak, dan terakhir hutang menumpuk milik keluarganya yang baru terbayar setengah.
Memang, kehidupan keluarga Jeno mulai membaik setelah si sulung asal Bandung itu menjabat sebagai manajer. Dalam kurun waktu satu tahun enam bulan Jeno sudah banyak membawa perubahan.
Hutang menggunung milik keluarga yang mulai terlunasi, rumah yang direnovasi sedikit demi sedikit walau tidak terlalu luas, menguliahkan Jauzan di universitas terbaik, dan membelikan sepetak ladang dan tiga ekor kambing untuk Bapak agar berhenti menjadi petani suruhan.
Jeno menggaruk belakang kepalanya bingung. "Ada uang pusing, gak ada uang berasa mau mati. Apa iya harus melihara tuyul..."
Merasa jengah, Jeno memasukkan struk ATM itu ke saku blazernya. Sepulang kerja nanti ia akan mentransfer sebagian uangnya ke rekening Emak dan Jauzan.
Biarlah nominal tidak penting, Tuhan lebih tahu porsi rezeki hambanya walaupun tanpa ada jumlah nominal.
Niatnya sekarang Jeno ingin pergi ke toilet. Tapi baru saja ia keluar dari ruangannya, tiba-tiba Lucas datang dengan menunjuk-nunjuk Jeno sambil berlari. Pria jangkung itu terus berteriak-teriak di lorong lantai lima membuat Jeno bingung.
"HEEHH ABINAYA! GOBLOK! KENAPA MASIH DISITU?!"
Lucas menangkap lengan Jeno kemudian menyeretnya. Jeno yang diperlakukan tak biasa mencoba melepaskan tarikan Lucas, meminta penjelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABINAYA | NOMIN
Fanfiction[SUDAH DIBUKUKAN] *cerita belum direvisi, jadi mohon maklum jika tanda baca maupun PUEBI-nya berantakan 𝙆𝙞𝙨𝙖𝙝 𝙥𝙚𝙢𝙪𝙙𝙖 𝙙𝙚𝙨𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙣𝙚𝙢𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙞 𝙥𝙚𝙧𝙖𝙣𝙩𝙖𝙪𝙖𝙣. • Lokal!AU • BxB NCT © SM Entertainment ...