19

28.8K 5.7K 1.9K
                                    

–––––
〃ABINAYA〃
–––––

Ketika kamu memikirkan tentang masa depan
Apa kamu memikirkanku juga?

–––––

JENO memarkirkan motornya beberapa meter dari gerbang masuk Human Corp. Sore ini setelah tiba jam pulang kerja, ia berniat untuk berbicara dengan Januar. Seharian ini Jeno memang tidak berinteraksi sama sekali dengan kekasihnya itu.

Alasan logis untuk menghindari kekacauan yang ditakutkan terjadi.

Di depan tukang nasi uduk langganan, tempat Jeno pertama kali menunjukkan ketertarikannya pada sang kekasih. Ia menunggu dengan terus melirik pintu gerbang yang terbuka lebar.

Kemana gerangan sang kekasih dengan mobil putihnya. Rindu sekali Jeno dengan si pemilik bulu mata lentik itu.

Beberapa kali Jeno bolak-balik mengecek aplikasi WhatsApp di ponselnya, barangkali Januar membalas pesannya. Tapi nyatanya belum ada balasan, dibaca saja belum. Akhirnya Jeno hanya duduk termenung di atas motor Beat kesayangannya.

Tiga menit, lima menit, sepuluh menit, Januar belum kunjung datang. Tapi pesan Jeno sudah menampilkan dua tanda centang biru yang berarti sudah dibaca. Hingga sampai di menit ke lima belas mobil Januar terlihat menepi tepat di belakang motor Jeno.

TIN

TIN

Januar membunyikan klakson dua kali sambil membuka kaca mobilnya. Kepalanya melongok sedikit ke luar jendela untuk memanggil Jeno.

"Mas! Masuk dulu!" Januar sedikit berteriak.

Setelah melepas helm dan menggantungnya di stang, Jeno langsung masuk ke dalam mobil Januar. Wajah menawan sang kekasih ditambah hawa dingin dari AC mobil dan wangi pinus langsung menyambut Jeno, membuatnya termenung beberapa saat.

"Selamat sore?"

Lamunan Jeno buyar akibat sapaan dari Januar. Ia tersenyum canggung karena tertangkap basah melamun tidak jelas.

"A-Ah... Maaf, maaf!" Ucap Jeno gelagapan.

Januar menggeleng. "Saya juga minta maaf bikin kamu nunggu. Soalnya nunggu dulu lobby sepi biar gak bikin curiga."

"Gapapa. Saya juga yang tiba-tiba minta bicara sama kamu."

Melihat dahi Jeno yang sedikit berkeringat, Januar menurunkan suhu AC mobilnya. "Pasti ada sesuatu yang penting."

Jeno mengangguk yakin. "Setelah perbincangan kita beberapa hari lalu, saya terus berpikir buat lebih serius."

Kerutan di dahi Januar menandakan ketidakpahaman tentang apa yang Jeno ucapakan. "Maksudnya?"

"Boleh saya minta waktu kamu Sabtu besok?" Bukannya menjawab Jeno malah balik bertanya.

"Besok?"

"Iya. Saya mau ngajak kamu ke Bandung, ketemu lagi sama Emak sama Bapak."

Mata Januar membola, terlalu terkejut dengan ajakan Jeno. Jika waktu itu dirinya begitu berani menampakkan kaki ke Bandung tanpa persiapan, kali ini berbeda. Terlebih Jeno yang mengajaknya secara personal.

ABINAYA | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang