13

33K 6.3K 3.8K
                                    

–––––
〃ABINAYA〃
–––––

Wajar merasakan risau saat ada goncangan tak kasat mata yang terasa mengancam
Tapi sebenarnya tak perlu dijadikan masalah sampai menjadi ketakutan
Setiap manusia mempunyai porsi kebahagiannya masing-masing

–––––

SEPERTI beberapa hari sebelumnya, rutinitas Jeno setiap pagi adalah membantu Bapak membersihkan diri. Ia akan dengan telaten mengelap tubuh Bapak menggunakan handuk kecil dan air hangat, kemudian membantu memakaikan pakaian bersih dengan amat hati-hati. Tidak lupa Jeno akan membersihkan tempat tidur Bapak dan mengganti spreinya setiap hari, takut Bapak tidak merasa nyaman dengan sprei yang mungkin terasa kotor.

Setelah Bapak bersih dan berpakaian rapi Jeno akan membawa sprei dan pakaian kotor ke kamar mandi, itu Jauzan yang akan mencucinya.

Tugas Jauzan adalah bersih-bersih rumah dan membantu Emak mengantar pesanan gorengan ke sekolah-sekolah dan warung. Sedangkan tugas Jeno selain membantu Bapak adalah menyiram cabai dan ubi di ladang, juga mencari rumput untuk memberi makan tiga ekor kambing peliharaan Bapak. Di luar tugas-tugas Jeno dan Jauzan, Emak yang akan mengerjakannya.

Selesai menaruh pakaian dan sprei kotor di kamar mandi, Jeno kembali menghampiri Bapak. Kini di tangannya ada sepiring nasi dan sop ayam juga segelas air putih. Memang semenjak kecelakaan, Bapak hanya memakan makanan yang berkuah karena lebih mudah menghabiskannya.

"Bapak makan nasi dulu ya, kemarin sore kan cuma makan roti."

Jeno duduk di samping kanan Bapak lalu meletakkan piring dan gelasnya di lantai. Dengan hati-hati Jeno membantu Bapak untuk duduk bersandar ke dinding agar Bapak bisa makan dengan nyaman. Memang sejak kemarin Bapak mulai belajar untuk duduk, tangan kirinya yang retak sudah mulai terbiasa dibawa untuk duduk meski masih terasa sakit. Sedangkan kaki kanan Bapak yang patah juga sedikit demi sedikit dicoba untuk bergeser dengan bantuan Jeno.

Satu sendok, dua sendok, Jeno mulai menyuapi Bapak dengan telaten. Pikirannya tiba-tiba menerawang ke masa lalu. Dulu saat masih kecil, Jeno ingat sekali sering disuapi Bapak setiap sore sambil melihat ikan di kolam Haji Abdul. Setelahnya ia kan pulang setelah nasi di piringnya habis sambil dipikul Bapak di pundak.

"Abi jadi inget, dulu waktu kecil Abi tiap sore makan disuapi Bapak sambil liat ikan di kolam Haji Abdul."

Bapak tersenyum saat Jeno menceritakan masa kecilnya. "Sekarang anak Bapak udah dewasa, udah jadi orang sukses yang bikin Bapak sama Emak bangga."

Kembali satu suapan Jeno berikan pada Bapak. "Sekarang Abi yang nyuapin Bapak, ngebantu Bapak bersih-bersih. Ternyata waktu udah terlalu banyak dilalui."

Jeno memperhatikan Bapak yang mengunyah makanannya pelan. Ia memperhatikan tubuh Bapak, pundak itu kini tidak setegap dulu. Tidak sekuat saat dulu ia suka bergelayut minta digendong. Wajah Bapak yang sudah mengeriput di beberapa bagian tak luput dari pandangannya. Jeno seolah-olah bisa melihat kenangan dan kasih sayang yang diberikan Bapak lewat keriput di wajahnya.

"Jeje, dia siapa kamu?" Gerakan Jeno menyendok nasi terhenti saat Bapak tiba-tiba bertanya seperti itu. Jeno menatap Bapak yang ternyata juga menatapnya.

"Dia... Orang spesial Pak." Jawab Jeno.

Bapak tidak terkejut saat Jeno mengatakan itu. Bapak tahu jika keduanya memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman kerja bahkan saat pertama kali Bapak melihat Januar. Ada sebuah titik yang bisa Bapak lihat meski sekilas, dan itu juga ada pada Jeno setiap kali Bapak memperhatikannya berinteraksi dengan Januar.

ABINAYA | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang