18

27.4K 5.8K 4.2K
                                    

–––––
〃ABINAYA〃
–––––

Tak ada yang sederhana di dunia
Terlebih kala dua sisi mulai bertabrakan
Ego yang diagungkan menghasilkan tembok menjulang ke atas langit
Kebisuan juga hanya akan menghasilkan argumen tak kasat mata yang tak kunjung usai
Memang manusia sendiri yang membuatnya menjadi rumit

–––––

SUARA benda berserakan menggema di ruang tengah kediaman Sanjaya. Tuan Besar Sanjaya menghempaskan beberapa berkas dan lembaran foto ke wajah putera bungsunya, Januar. Wajah beliau tetap datar, tapi tidak dengan tatapan matanya yang menusuk sampai ke tulang.

"BIKIN MALU!"

Januar memejamkan matanya saat merasakan linu karena tamparan dari berkas yang dilayangkan ayahnya. Ia dengan wajah bingung mengambil salah satu berkas yang berserakan dan membacanya, juga selambar foto yang membuat jantungnya berpacu kencang.

"P-Pa..." Cicit Januar. Ia menundukkan kepalanya kala membaca apa yang menjadi kemarahan si Tuan Besar Sanjaya.

"Gak becus! Terlena sedikit langsung ngelunjak! Papa diam bukan berarti Papa gak tau apa yang kamu lakukan di belakang!" Rahang Pak Sigit mengeras menahan amarah. Tak jauh dari sana Bu Yuna memantau dengan tenang.

"Apa maksud Papa?" Januar tidak menaikkan intonasi bicaranya, tapi terselip nada dingin di ucapannya.

"Tanyakan pada kedua tangan dan kakimu yang lancang itu! Karena satu pria desa saja kamu langsung gak berdaya?"

Pak Sigit kembali melayangkan berkas lain ke wajah Januar, kini agak kencang sampai puteranya itu meringis. Dengan wajah merah padam menahan amarah juga sakit karena lemparan berkas, Januar mengambil benda yang sudah melayang ke wajahnya itu.

"Karena grafik dan saham kita gak mengalami kenaikan sama sekali, Papa menyalahkan Abinaya? Sebut saja namanya! Gak usah Papa memanggilnya pria desa! Dia punya nama!!"

Walau mencoba meredam emosi sekuat mungkin, akhirnya Januar tetap melayangkan ucapan dengan intonasi naik. Kedua alisnya menukik dan tatapannya tajam, bertatapan dengan mata Pak Sigit yang juga tak kalah tajam.

"Tuhan menciptakan telinga buat mendengar! Tapi dimana kamu menyimpannya? Sampai gunjingan karyawan-karyawanmu saja gak terdengar? Tuli kamu?!"

"Di mata Papa, itu salah? Dosa? Biarkan mereka yang bergunjing, kita yang menjalankan bukan mereka!"

"Sama saja pembangkangnya seperti Jefri!" Desis Pak Sigit. Beliau kemudian menunjuk salah satu foto yang tergeletak di dekat kakinya.

"Tempat kerja bukan untuk digunakan bercumbu rayu!"

Januar melirik foto yang ditunjuk Pak Sigit. Disana ada gambaran dirinya dan Jeno yang berpelukan di dalam mobil. Januar ingat itu pasti diambil saat ia meminta Jeno untuk berbicara dengannya di parkiran.

Ternyata memang benar, Pak Sigit memiliki mata di setiap langkah kaki kedua puteranya. Seperti apa yang pernah dibicarakan Jefri.

"Kenapa diam? Udah sadar dimana salahmu?" Sindir Pak Sigit.

"Enggak! Gak ada yang salah dengan menjalin hubungan dengan seseorang." Ucap Januar pelan. Ia kemudian berjongkok, membereskan berkas-berkas juga beberapa foto yang berserakan.

ABINAYA | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang