28

28.4K 5.7K 5.4K
                                    

–––––
〃ABINAYA〃
–––––

Penuh kejutan tak terduga
Memang seperti itu dunia
Tempat dimana teka-teki saling mengecoh
Yang mustahil bisa menjadi nyata
Yang terasa nyata menjadi mustahil

–––––

MALAM hari di kediaman Sanjaya, Sang Tuan Besar meminta untuk berkumpul. Beliau beserta istrinya duduk bersampingan di atas sofa ruang tengah dengan dua putera mereka yang duduk di seberang.

Tidak ada suasana hangat apalagi canda tawa seperti kebanyakan dilakukan saat berkumpul. Keempatnya terlihat serius walau masih menampilkan gestur yang cukup santai.

"Jefri, Januar, Papa mau bicara dengan kalian."

Suara Pak Sigit menggema memecah keheningan. Beliau mengamati satu persatu wajah kedua puteranya yang terlihat datar.

"Pasti ada sesuatu yang sangat penting sampai Papa mengajak berkumpul dengan anggota lengkap." Jefri mengangkat sebelah bahunya.

"Benar. Papa mau bicara hal sangat penting. Sudah cukup hubungan kita semakin berantakan dengan adanya hal mengganjal yang akhir-akhir ini terjadi. Terlebih kamu Jefri sedang ada di Jakarta. Papa rasa ini waktu yang tepat untuk kita semua bicara."

Januar melirik ibunya yang menyesap teh hangat tanpa suara. Kemudian tatapannya beralih pada sang ayah yang tampak berpikir sejenak sebelum mengutarakan pembahasan.

"Untuk kamu Jefri dan Januar, putera-putera kebanggaan kami..."

Pak Sigit menghembuskan nafas pelan sebelum melanjutkan ucapannya.

"Papa sudah banyak merenung dengan semua tindakan yang pernah Papa lakukan. Di mata kalian, Papa ini jahat kan? Papa egois karena selalu menentang keinginan kalian?"

Tidak ada yang menyahut. Semuanya membisu dan lebih memilih bergelung dengan pemikiran masing-masing. Pak Sigit tersenyum tipis, terlebih saat melihat wajah salah satu puteranya yang terlihat masam.

"Diamnya kalian, Papa anggap sebagai ucapan iya."

Januar melirik. Di dalam hati ia ingin sekali mengatakan 'iya' dengan lantang di depan ayahnya. Tapi saat mengingat sopan santun Januar akhirnya memilih diam. Salah bicara saja bisa-bisa ia kembali berseteru dengan sang ayah.

"Memang benar, Papa akui. Tapi Papa juga punya alasan melakukan suatu tindakan, bukan semata-mata ego yang bertindak. Terlebih buat kamu Jefri."

Pak Sigit menunjuk Jefri yang sempat termenung. Pria itu langsung menegakkan tubuhnya saat merasa dirinya ditunjuk oleh sang ayah.

"Sebenarnya apa yang mau Papa bahas?" Tanya Jefri. Ia mulai merasa aneh saat ayahnya bersikap agak berbeda dari biasanya.

"Perkara masalah Papa dengan anak-anak. Papa mau kita kembali bicara selayaknya keluarga. Bukan musuh yang saling menggigit di balik selimut."

"Ya, Jefri ngerti maksud Papa."

Sebelum kembali bicara, Pak Sigit melirik pada istrinya. Setelah mendapat anggukan dari sang istri, akhirnya beliau kembali bersuara. Penyebab kesalahpahaman bertahun-tahun yang membuat berseteru dengan dua puteranya, malam ini akan diutarakan.

"Jefri... Sebenarnya Papa gak pernah membenci Doni, yang Papa benci itu masa lalunya yang bisa kapan saja melukai kalian."

Januar yang awalnya acuh tak acuh mulai tertarik. Ia sedikit menegakkan tubuhnya menyimak apa yang akan kembali diucapkan oleh ayahnya. Terlebih yang sedang disinggung adalah masalah yang juga membuatnya sedikit terganggu dengan ayahnya sendiri.

ABINAYA | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang