23

26.7K 5.6K 3.9K
                                    

–––––
〃ABINAYA〃
–––––

Inilah jawaban dari pikiran yang terus membayang di setiap malam

–––––

JENO melihat penampilannya di spion motor. Sedikit agak berbeda, Jeno merasa jika wajahnya semakin tirus sampai rahangnya terlihat benar-benar tajam. Begitupun kantong matanya yang setiap hari rasanya semakin menebal.

Sepertinya Jeno sudah merusak tubuhnya akhir-akhir ini.

Setelah menggantungkan helm di atas spion, Jeno lantas beranjak untuk segera meninggalkan parkiran. Sambil berjalan menuju lobby, ia membuka satu persatu pakaian pelindung yang melekat di tubuhnya.

Sarung tangan, lalu jaket, dan terakhir menyisir rambut depannya yang agak berantakan menggunakan tangan. Tidak lupa kemeja batiknya di hari Jum'at membuat siapapun tidak tahan untuk tidak melirik.

Jeno memang terlihat kurang segar akhir-akhir ini. Tapi wajah tampannya tetap yang paling bersinar. Apalagi jika sudah ditempatkan di barisan para manajer yang kebanyakan berumur.

Tapi semenjak ketahuan menjalin hubungan dengan Januar, para karyawan tidak terlalu kentara menggoda ketampanan Jeno. Mungkin hanya Somi yang tetap terang-terangan menunjukkan ketertarikannya. Entah itu bercanda atau memang benar-benar tertarik.

Rasa canggung lebih tepatnya terasa kentara setiap kali Jeno lewat di depan gerombolan karyawan yang selalu bergosip di pagi hari.

Kebetulan pagi ini kedatangan Jeno bertepatan dengan kedatangan Januar. Semua orang langsung menempatkan mata pada pasangan paling dipertanyakan nasibnya. Keduanya berada di satu perusahaan, ketahuan menjalin hubungan, membuat keributan karena peraturan yang bertabrakan, kemudian dijatuhi hukuman.

Tapi hingga saat ini sepasang kekasih itu masih bisa berjalan tegak. Semua orang menantikan bagaimana akhirnya nasib dua orang berpengaruh itu di tangan Sigit Sanjaya yang terkenal dengan taring tajamnya.

Jeno lebih dulu memasuki lobby daripada Januar. Tapi ia tidak lantas melanjutkan langkah menuju ruang kerjanya. Jeno malah berjalan menepi hingga mendekat ke meja resepsionis disana menunggu Januar lewat lebih dulu.

Sampai pada akhirnya Januar masuk dengan langkah tegasnya. Ia berjalan tanpa melirik Jeno sama sekali apalagi menyapa. Padahal momen inilah yang paling ditunggu-tunggu semua pasang mata yang ada disana.

Baru setelah Januar menjauh, giliran Jeno yang kembali langkah meninggalkan lobby. Ia tidak mengambil lift yang sama dengan Januar, justru berbelok ke kiri. Jeno mengambil lift di sudut dekat tangga yang biasa digunakan office boy untuk mengangkut barang tidak terpakai dan mengantar makanan.

"Mereka putus?" Tanya salah satu karyawan resepsionis wanita pada wanita lain di sampingnya.

"Mungkin. Kamu liat gak muka Pak Abi keliatan jutek banget terus gak ngomong sama sekali tadi. Biasanya kan beliau ramah banget." Balas wanita satunya.

"Wajar sih pas ketahuan langsung putus. Apalagi Bos Besar kan ketahuan tabiatnya kayak gitu. Kalo beliau udah gak suka ya udah pasti akhirnya ketebak bakal gimana."

"Bener juga sih..."

Bertepatan dengan gunjingan yang dilakukan dua karyawan itu, seseorang menopang dagu di atas meja resepsionis dengan satu cup kopi yang masih mengepulkan asap. Orang itu Rendi, tersenyum manis tapi tidak dengan auranya.

ABINAYA | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang