26

27.5K 5.4K 2K
                                    

–––––
〃ABINAYA〃
–––––

Terkadang alasan anak menyembunyikan suatu hal penting agar tidak menyakiti hati orang tua

–––––

SABTU ini, Jeno benar-benar menyempatkan diri untuk pergi ke Bandung. Ia ingin bicara pada Emak dan Bapak, mencurahkan segala keluh kesahnya, juga menyampaikan perihal kepindahannya ke Semarang.

Jeno semakin merasa buruk. Saat masih di Jakarta saja, dapat dihitung jari ia bisa menjenguk Emak dan Bapak. Apalagi saat dirinya sudah resmi dipindah ke Semarang, mungkin dalam setahun hanya dua sampai tiga kali bisa bertemu.

Semakin jauh, semakin Jeno merasa tidak berguna sebagai anak. Keinginannya ingin merawat Emak dan Bapak di hari tua harus kembali tertunda. Mimpi kecilnya lagi-lagi belum terlaksana.

Pagi-pagi buta Jeno berangkat dari Jakarta menuju Bandung. Ia sengaja berangkat pagi agar tidak terkena macet oleh lalu lintas di akhir pekan. Pukul delapan lewat lima belas menit Jeno sampai dengan selamat di Bandung.

Sesampainya di kampung halaman, Jeno disambut oleh Bapak yang sedang berjalan-jalan mengitari halaman dengan tongkat yang menyangga sebelah tubuhnya. Ia tersenyum, keadaan Bapak semakin baik dari hari ke hari.

Setelah memarkirkan motor dan menyingkirkan dua karung rumput yang menghalangi jalan, Jeno menghampiri Bapak yang tersenyum menyambut. Senyum Bapak begitu lebar, senang sekali melihat putera sulungnya pulang setelah dua minggu kemarin tidak berjumpa.

"Kamu keliatan kurus, Nak. Pasti sibuk banget di kantor?" Tanya Bapak.

"Iya, Pak. Kerjaan lagi ruwet banget akhir-akhir ini." Balas Jeno setelah mencium punggung tangan Bapak. Ia kemudian membatu Bapak untuk duduk di salah satu kursi kayu yang diletakkan di teras rumah. Sedangkan Jeno sendiri duduk lesehan di lantai.

Bohong, padahal bukan itu yang sebenarnya. Jeno tersenyum kecut mengingatnya.

"Emak sama Jauzan kemana?"

"Biasa, nganterin pesenan. Ada yang hajatan di RT sebelah, mereka minta Emak yang bikin kudapan."

Jeno mengangguk. Ia mengamati kaki dan lengan Bapak yang masih dibalut. "Kaki sama tangan masih kerasa sakit Pak?"

Bapak menggeleng, "Sakit sih udah enggak. Cuma kaku sama perasaan takut keseleo pas jalan masih terasa."

"Bentar lagi pasti sembuh. Bapak bisa lari lagi ke ladang."

Keduanya tertawa. Tapi tidak berselang lama, Bapak kembali menatap dan meneliti wajah putera sulungnya. Ada yang aneh, sorot mata puteranya terlihat agak meredup.

"Ada yang mau dibicarakan?" Tanya Bapak.

Jeno tersentak, ia kembali disadarkan pada salah satu niatnya kembali ke Bandung. Tentunya selain menjenguk orang tua juga adiknya.

"Iya Pak, ada."

"Nanti ya, tunggu Emak sama Jauzan pulang. Udah makan?"

Jeno menggeleng.

"Ayo makan dulu, terus istirahat. Pasti capek habis di perjalanan."

ABINAYA | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang