Aku berada di sebuah taman indah, banyak bunga lily, lavender, dan beberapa daun mint. Aromanya mengingatkanku pada seseorang, aku ingin berjalan ke arah cahaya matahari yang menerangi bunga lavender. Namun aku tak bisa, aku melihat kakiku, ada akar yang membelitnya, lama kelamaan semakin naik hingga ke pinggang, tak ada orang disini, aku tak bisa meminta tolong.
Mataku terbuka. Oh Tuhan, tadi hanya mimpi. Aku melihat Cloud tidur melilit tubuhku, teringat kejadian tadi malam. Cloud yang malang... aku berada di dalam selimut bersamanya, sinar matahari menyapa dari jendela, kota New York terlihat indah dari pintu kaca balkon kamar Cloud.
Aku memandang wajah tidurnya, yang terlihat begitu damai. Lalu bayangan Cloud kecil terbayang di pikiranku, aku mengelus wajahnya pelan agar tidak membangunkannya. Namun itu membuat matanya bergerak, terbuka perlahan.
Dia tersenyum menatapku. "Hai." Katanya dengan suara baru bangun tidurnya, sangat sexy.
"Hai." Balasku tersenyum. "How was your sleep?"
"Good, setelah kamu datang padaku." Dia melepaskan lilitannya padaku.
Aku bangun dari tempat tidur, merenggangkan tubuhku, aku mencari-cari kimonoku untuk menutupi gaun tidur satin ku. Namun, teringat aku terlalu terburu-buru saat kemarin malam aku ke kamar Cloud.
Cloud menatapku, aku tak bisa membaca apa arti tatapannya, aku reflek menutupi tubuh yang hanya dibalut gaun satin tipis panjang.
"Apa yang kau lihat?"
"Jangan pernah pakai gaun itu saat aku tak ada dirumah."
"Kenapa memangnya?"
"Aku tidak suka."
"Ha?"
"Aku akan membatasi Barret untuk masuk kesini saat malam, aku tidak akan membiarkan orang lain melihatmu seperti itu."
"Ya Tuhan, Cloud." Aku menganga, mendekatinya. "Kau cemburu?" Tanyaki pelan.
Mukanya salah tingkah. "Ayo segera bersiap, kita harus berangkat ke Brooklyn" dia berusaha mengubah topik.
"Kau cemburu kan?" Tanyaku mengejarnya, bergantung di lengannya.
"Hazel..." katanya datar.
"Ya kaaaaaannnn?" Tanyaku masih memaksa.
Dia tiba-tiba menjatuhkan ku ke kasur, aku berada dibawahnya, dia diatasku tanpa memakai baju, aku menelan ludahku, jantungku berdetak tak karuan. Dia tersenyum menang. Aku hampir lupa berkedip karena hal itu. Dia berada lebih dekat dengan ku lalu mencubit pipiku.
"Pipimu merah." Katanya terkekeh, berdiri, lalu masuk ke kamar mandi.
Aku buru-buru bangun setelah melihatnya masuk kamar mandi, berlari kecil ke arah kaca. SIAL! Pipiku memang merah, ya Tuhan. Aku malu, cepat-cepat aku kembali ke kamarku untuk mandi dan berganti baju.
Sangking banyak memikirkan hal memalukan tadi pagi aku sampai belum berdandan, sekarang disinilah aku, di mobil bersama Cloud dengan Barret, aku meminta Cloud membiarkan Tifa beristirahat, lagi pula aku bersamanya. Apa yang harus dikhawatirkan?
Aku membuka kotak make up ku, menggunakan cushion tipis di wajahku, setelah selesai aku ingin merapikan alis tapi terlalu sulit memegang kaca sambil berdandan, kulihat Cloud sedang melihat jalanan.
"Cloud." Panggilku padanya.
"Hmm." Dia menoleh ke arahku.
"Pegangin." Kataku memintanya untuk memegang kaca kecilku.
Dia melongo padaku, aku yang terburu-buru mengambil tangannya lalu memberikan kaca.
"Disini, ya seperti ini, pas." Kataku sambil mengarahkan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wings On The Bird (COMPLETED)
RomanceBagiku, pernikahan adalah hal yang paling menakutkan. Bagaimana bisa kau hidup selama berpuluh-puluh tahun dengan orang yang sama tanpa merasa jenuh atau kau bahkan bertahan selama itu untuk tidak membuat kesalahan yang membuat pasanganmu terluka? B...