Nineteen - Hurt

3.2K 376 24
                                    

Sinar matahari seperti menusuk matakku, aku terbangun namun merasakan hangat menyelimutiku. Kulihat badanku memang diselimuti, pasti Eli tak tega membangunkanku. Aku berjalan ke arah dapur, merasakan pusing di kepalaku.

Tiba-tiba perutku mual, aku berlari ke adah tempat cuci piring untuk memuntahkan es krimku yang semalam. Sial! Morning sick ini mengangguku, ku ingat Dr. Mia memberikan ku bebedapa obat namun belum kusentuh sama sekali.

Aku menaiki anak tangga, berjalan kedepan kamar Cloud. Mengetuknya terlebih dahulu, lalu membukanya setelah ada jawaban.

"Aku ingin mengambil bajuku."

Dia mengangguk, mengizinkan aku masuk kedalam kamarnya. "Ada yang ingin ku bicarakan, Hazel."

Kata-katanya membuat langkahku berhenti. "Ya, silahkan."

Ku kihat dia kearah meja kerjanya, mengambil sesuatu. Mataku membulat, mengenali kertas yang dia pegang. Bukti bahwa aku hamil.

"Kau hamil?" Tanyanya dingin padaku.

Aku menelan ludah dengan susah payah untuk mengatakan kata yang singkat. "Ya."

"Apa anak itu anakku?"

Aku mengerutkan kening, melihat ke arahnya. "Apakah ada suamiku yang lain?"

Dia terlihat dingin, matanya menusukku beribu-ribu kali. "Aku mendengar pengakuan mantanmu saat membobol apartemenku. Kau hamil anaknya."

Aku tertawa miris. "Apa kau sudah tanyakan pada detektifkan Carl mengenai hal itu? Ku rasa kau harus mencari informasi dari orang yang tepat."

"Sial! Apa maksudmu?"

"Kau tahu ini dari kapan? Siapa yang memprovokasi bahwa anak ini adalah anak Aidan?"

"Tidak ada."

"Sharon? Ya kan? Hanya dia yang kau temui kemarin."

Dia terlihat marah. "Bagaimana bisa kau hamil?"

"Apa aku harus menjelaskan kepadamu seperti menjelaskan pertanyaan 'bagaimana cara baby ada dalam perut' pada anak kecil?"

"Kau tidak mengenalku sama sekali! Aku tidak pernah ingin punya anak!"

Aku menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dengan kasar. "Aku mengenalmu lebih dari apa yang kau tahu."

"Sial! Aku belum siap jadi ayah."

Aku menghela nafas. "Kita berjanji akan belajar bersama, Cloud. Kau akan mengingat itu setelah ingatanmu kembali."

"Tapi aku tidak ingat apapun tentang hal itu, tentang dirimu, bahkan tentang pernikahan sial ini." Bentaknya.

Dia terlihat panik. "Bahkan aku belum dapat mempercayai itu adalah anakku."

Aku mendekat kearahnya, aku yakin mataku sudah berkaca-kaca aku menahan nangis sekuat tenaga. "Aku tak meminta apapun darimu, mari kita jalani ini sesuai dengan apa yang kau inginkan. Jangan anggap aku hamil, lupakan."

"Kau gila! Bagaimana bisa sedangkan setiap kali aku mendengar kau muntah saat pagi hari."

"Aku tidak akan muntah didepan mu lagi." Jawabku dingin, menoleh kearah lain tak mau melihatnya.

"Bagaimana bisa?!" Dia berteriak padaku.

"Aku tak bisa menjelaskan apapun padamu, siapa di dunia ini yang akan siap jadi orang tua? Ini juga terlalu tiba-tiba untukku, tapi kita pernah berjanji bersama untuk belajar satu sama lain, belajar menjadi orang tua bila waktunya tiba."

"Tidak mungkin aku mengatakan itu!" Ucap Cloud.

"Cukup. Apapun yang ku katakan mengenai dirimu yang ku kenal, kau selalu bilang tidak mungkin." Aku menatap matanya, ada kilatan marah disana. "Lupakan kalau aku hamil, atau anggap saja ini bukan anakmu. Lagipula kau memang tidak percaya ini anakmu kan?" Air mata lepas dari sudut mataku.

The Wings On The Bird (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang