Gelap berganti terang begitu juga dengan langit malam berganti cerahnya langit, sulur cahaya mentari mulai merambat dari celah kumpulan awan, menghantarkan sedikit kehangatan ditemani rintik hujan yang mulai mereda setelah fajar tadi menuangkan air dengan derasnya.
Sosok lelaki itu masih terlihat nyaman bergelung dalam selimutnya, menaikkan kain tebal itu sebatas leher akibat dingin yang menyapa tubuhnya dari celah jendela besar serupa pintu menuju balkon yang terbuka.
Sekadar berganti posisi, membalikkan tubuhnya menyamping kearah yang lebih hangat dari sinar mentari yang datang bercengkrama dengan jendela tak tertutup tirai. Namun sang surya tak mau berkompromi dengan dirinya, lagi, cahaya kelewat terang masuk menembus alam tidurnya, mengganggu matanya yang masih setia menutup kini harus terpaksa terbuka meski enggan.
Mengerjapkan kedua matanya beberapa kali demi menangkap fokus yang masih kabur di pengelihatannya. Dirinya terkekeh miris setelah kedua netranya menelisik kamar dan tidak mendapati presensi yang dicarinya. Untuk kedua kalinya. Lagi.
Memori semalam kembali terputar di kepalanya. Masalah belum sepenuhnya selesai, hanya diakhiri sepihak olehnya karena tak ingin menambah sayatan pada hatinya lebih dalam. Terlalu takut jika lukanya teramat dalam sampai susah disembuhkan.
'Ah, bersikap asing mulai sekarang, ya? Apa aku bisa bersikap seperti itu padamu? Bodohnya diriku.'
Kedua kakinya bergerak malas menuruni ranjang empuk miliknya, beranjak pergi meninggalkan kamar. Inginnya hanya sekedar turun menuju dapur guna mengisi tenggorokkannya yang meraung kekeringan, namun langkahnya terhenti saat ekor mata miliknya menangkap sosok yang tidak asing.
Hwa Young, istrinya. Ia sedang duduk meringkuk dengan kepala yang tenggelam dalam lipatan tangan.
'Bagaimana caranya aku bersikap asing padamu?' kembali batinnya meronta.
Diurungkannya niat untuk membasahi kerongkongan dimana langkahnya justru menghampiri sang istri.
'Kau lebih memilih tidur disini dibanding kamar.' Hatinya meraung kesakitan, ini jauh lebih sakit dari sekadar penolakkan mentah, istrinya terang-terangan menunjukkan ciptaan jarak yang mulai menjauh.
"Apa tidur disini lebih nyaman? Tubuhmu tidak pegal, ya?" Jungkook ikut duduk disamping sang istri, tangannya terulur menghalau sinar matahari yang bisa saja menggugah istrinya.
"Bahkan aku bicara sendiri seperti orang gila." Kekehnya menggeleng kepala heran.
Ditempatkannya kedua tangan pada perpotongan leher dan kaki Hwa Young kemudian membawanya hingga ke kamar. Membaringkan tubuh istrinnya perlahan, lalu menarik selimut sebatas perut. Ia menempatkan diri untuk duduk di tepian ranjang, tangannya terangkat merapikan anak rambut sang istri yang berantakan lalu didapatinya wajah sembab serta bekas aliran lacrima mengering di paras ayu itu.
"Kenapa menangis?" Ucapnya lirih nyaris berbisik tanpa suara.
Ibu jarinya mengusap kedua kelopak mata Hwa Young turun menghapus jejak aliran disana.
"Kau tidak seharusnya menangis, aku sudah membebaskanmu meski aku tidak bisa melepaskanmu. Maafkan aku yang egois ini."
"Istirahatlah, aku tak akan mengganggumu." Bisiknya lalu mengecup kening Hwa Young lama sebelum meninggalkannya.
Mata Hwa Young terbuka ketika Jungkook berjalan menjauh, netranya menatap kepergian sang suami dengan tatapan yang sulit diartikan. Satu bulir air mata tak terasa menetes dari pelupuk mata, sepeninggal Jungkook menutup pintu kamar mereka. Gadis itu meringkuk dalam baringannya, "maafkan aku," ucapnya begitu lirih.
YOU ARE READING
Who Are You?
FanfictionJeon Jungkook. Kita melewati banyak cerita bersama dalam pernikahan ini. Cerita yang kita lalui bersama. Ah, bukan. Aku tidak melalui semua cerita itu bersamamu. Maafkan aku, tidak semua waktu yang kau lalui bersamaku itu adalah aku yang kau kenal...