04 | THE REASON

371 66 181
                                    

Hampir sepanjang hari, suara hembusan napas Hwasalah yang terdengar mengisi satu ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir sepanjang hari, suara hembusan napas Hwasalah yang terdengar mengisi satu ruangan. Hari ini genap empat hari, setelah hari yang menyebabkan luka lebam di wajah, serta beberapa bagian tubuh Hwasa yang kini mulai membaik.

Hari di mana Hwasa pertama kali merasakan getir di dada, mengalahkan ruam merah di seluruh tubuhnya. Bahkan, jika para pelanggan rumah tato tak menanyakan soal mata yang menggemuk, Hwasa juga sudah melupakannya.

Suara pintu kayu kembali terdengar, Hwasa yang semula duduk, segera bangkit, sambil menyinggungkan senyum terbaik. Kemudian pudar, bersamaan dengan munculnya sosok pria dari balik sana.

Tubuhnya mengejang, peluhnya mulai bercucuran. Bahkan, mata yang hampir menutup itu kini hampir setengah terbuka.

"Kamu masih berani membuka Rumah Tato ini, huh?" Suara khas, pertanda buruk bagi Hwasa.

"Aku tidak akan menutupnya!" tegas Hwasa.

"Oh, begitu rupanya." Pria itu berjalan mendekat. Satu langkah, dua langkah, pun langkah-langkah berikutnya tak menggentarkan Hwasa dari tempatnya berpijak. Semakin pria itu mendekat, semakin bulat pula tekadnya.

Dibelai surai kecoklatan nan bergelombang milik Hwasa, lalu berhenti pada mata lebamnya.

"Kwangsu, kumohon pergilah!" pinta Hwasa.

"Kamu memanggilku apa? Benar-benar!"

Mata Hwasa terpejam, bersamaan dengan terpotongnya ucapan Kwangsu. Pukulan demi pukulan adalah cara Kwangsu menjelaskan betapa ia tak menyukai tindakan kekasihnya.

Tersungkurnya Hwasa pun tak menyudahi kegiatan rutin Kwangsu. Semakin Hwasa merintih, semakin mudah Kwangsu melayangkan pukulan berikutnya. Maka dari itu, Hwasa memilih untuk tak bergeming.

"MANA RINTIHANMU ITU? AKU INGIN MENDENGARNYA, BODOH!" pekik Kwangsu.

Hwasa seharusnya mendesis ketika perutnya ditendang untuk kedua kali. Hwasa pun harusnya mengerang ketika darah segar, mengalir dari pelupuk matanya makin deras. Semua akibat pukulan Kwangsu.

"KAMU TULI? SUDAH KUKATAKAN, AKU INGIN MENDENGAR RINTIHANMU!" Kwangsu menarik rambut Hwasa ke belakang, agar ia mampu melihat wajah ketakutan kekasihnya. Namun, yang ia harapkan sedari tadi tak kunjung didapat. Hwasa masih tetap datar dan menatapnya tajam tanpa ada ketakutan di maniknya.

Bibir mungil yang kian melebar, akibat luka sobek pada kedua ujungnya, mulai bergerak. "Keparat! Kamu justru membuatku makin ingin melepasmu!" tegas Hwasa, sambil menyeringai.

Kwangsu mendadak kaku, seperti ada yang menyengat ujung kepala, menjalar ke seluruh tubuh, dan berhenti tepat di dadanya. Tatapannya berubah, melihat kekasih yang amat ia cintai babak belur. Perlahan namun pasti, cengkraman pada rambut kekasihnya pun mengendur.

"Hwasa, kamu tahu aku sangat mencintaimu, 'kan? Aku begini agar kamu mengerti posisimu. Kamu adalah wanita yang derajatnya di bawah pria, sudah seharusnya kamu menuruti perintahku," jelasnya.

Bless by Street | HWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang