25 | JUNCTURE

113 21 26
                                    

Setengah hati Jimin angkat kaki dari Rumah Tato yang diharap-harap menjadi tempat pelarian paling aman, pada akhirnya ia harus kembali memusingkan perihal cideranya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setengah hati Jimin angkat kaki dari Rumah Tato yang diharap-harap menjadi tempat pelarian paling aman, pada akhirnya ia harus kembali memusingkan perihal cideranya. Jimin terduduk di pekarangan, bercengkrama dengan batang nikotin pertamanya hari ini sembari menatap pun menggoyang-goyangkan kaki, coba tak merasa sakit agar ia tak membutuhkan perawatan tertentu atau sekadar tak menjadi lemah dalam versinya sendiri.

"Tidak bisakah kamu meninggalkan kakimu itu sendirian?" tanya Hwasa yang sibuk mengunci pintu.

Jimin mengernyit. "Maksudmu? Kalau kutinggalkan kakiku, bagaimana aku bisa berjalan?"

Wheein yang sadar akan kekeliruan Hwasa pun menyikut lengan sahabatnya, "gunakan kalimat yang benar, Hwasa!" tegurnya.

"Ah, maksudku ... istirahatkan kakimu sebentar kalau tidak ingin lukanya bertambah parah!" ulang Hwasa.

"Kakiku tidak apa-apa!" tegas Jimin.

Mendengar jawaban Jimin, membuat Hwasa mencondongkan kepala ke arah Wheein. "Lihatlah, bahkan dia lebih keras kepala ketimbang Jungkook," bisiknya pada Wheein.

Wheein mendengus kesal beberapa kali karena tindak laku Jimin, bahkan untuk saat ini. Sebenarnya ia tak tega melihat air muka cemas Jimin, namun ia juga lebih tak tega kalau-kalau luka di kaki sahabatnya itu makin parah dan berakibat fatal. Tentu saja yang frustasi bukan hanya si pemilik kaki, namun ia dan sahabat lain akan merasa demikian.

Segala kemungkinan yang menyarang di otak Wheein pun lantas membuatnya hilang kendali, suasana hatinya tak lagi dapat digenggam agar tetap menjadi riang, namun muram berhasil mengambil alih hampir keseluruhan. "Berhenti merokok dan cepat berdiri, Jimin!" titah Wheein yang mulai meninggikan nada bicaranya.

Apa boleh buat, kalau sampai Jimin tak menurut, bisa ia jamin nyawanya akan melayang saat ini juga. Bahkan sebelum ia dapat memindahkan pantatnya, sebab pandangan mata Wheein telah menyapa bulu-bulu roma di tubuhnya.

Demikian pula Hwasa, netranya membola, berusaha memberi isyarat kepada Jimin agar menurut saja. Jimin yang malang, di saat cidera pun harus mendapat pandang tak mengenakkan.

"Ayo, kita berangkat!" ajak Hwasa dibalas anggukan kedua sahabatnya.

Perjalanan yang cukup membuat napas Jimin tak beraturan akibat keinginannya untuk tak datang ke pemeriksaan dengan kenyataan yang dihadapi berbanding sangat terbalik. Beberapa kali ia berdecak saat di dalam bus, pun setelahnya cerucup tatap Wheein kembali membuatnya tunduk dan terdiam.

Bahkan, saat ini ketika mereka tengah menunggu antrean, Jimin tanpa sengaja berdecak untuk kesekian kalinya dan kesekian kali pula Hwasa memutar bola mata akibat tindak laku kedua sahabatnya.

"Berhenti mengeluh dengan berdecak percuma, lagi pula sebentar lagi kamu akan diperiksa!" tegur Wheein, sementara sang lawan bicara terus menatap lekat-lekat ke arah pintu ruang pemeriksaan.

Beberapa detik berikutnya, terdengar kalimat perpisahan dari dalam ruangan, membuat gerak netra Jimin semakin gelisah meski tak menanggalkan pandang. Kemudian, pintu terbuka hingga tampak seorang wanita paruh baya keluar dengan senyumannya. Bagaimana bisa dia tersenyum seperti itu? batin Jimin, sembari memandang lekat-lekat wanita di hadapannya.

Entah bagaimana cara denting arloji mengeraskan suara yang hampir mirip seperti jerit nanar seorang manusia, setiap pergantian detik, sangat jelas terdengar oleh Jimin walau wujudnya hanya sekecil pergelangan tangan Wheein. Bukan main, jeritnya sangat menyiksa gendang telinga Jimin, membuat keringat dari balik rambut lebatnya bercucuran tanpa henti di ruangan berpendingin seperti ini.

"Kamu takut?" tegur Wheein, membuat Jimin sedikit terlonjak.

Jimin berusaha menenangkan diri dengan mengatur napasnya senormal mungkin, "apa?"

"Ayolah, kamu pasti dengar, Jimin!" goda Wheein sembari menyikut pelan lengan Jimin.

"Aku akan merokok sebentar!" kata Jimin yang coba bangkit dari duduk, tetapi buru-buru dicegah oleh Wheein.

"Bilang saja kamu takut, 'kan?" goda Wheein, lagi.

"Apa hubungannya merokok dengan takut?"

"Pelarian saja .... "

Omong kosong jika magma di puncak kepala Jimin tak meronta-rota saat ini, ia sangat ingin menggigit telinga atau hidung Wheein agar sang empu meringis kesakitan dan meminta ampun padanya. Sayangnya, rencana Jimin tak berjalan semulus yang dikira.

"Park Jimin?"

Bukan hanya Jimin, Hwasa pun ikut terlonjak akibat seorang perawat yang menyebutkan nama sahabat prianya itu sefasih mungkin. "Ayo!" ajak Hwasa, sembari menarik lengan Jimin dan memberi isyarat pada Wheein untuk menghentikan keusilannya.

Berakhirlah ketiganya di ruang pemeriksaan dengan nuansa putih, mungkin warna ini dipilih agar para pasien merasa lebih aman atau paling tidak merasa tenang. Akan tetapi, Jimin sama sekali tak merasa tenang, apalagi aman, sekalipun saat ini dirinya sedang berbaring di ranjang pemeriksaan sembari menatap langit-langit yang tampak sepi. Sementara, Wheein terus saja memegangi lengan Hwasa saat melihat sang Dokter yang mempersiapkan alat pemeriksaan.

Tanpa sengaja, Hwasa memekik kecil saat sang Dokter mulai meraba luka memar Jimin, tetapi bukan karena ikut merasakan sakit di pergelangan kaki, melainkan di bagian lengan, karena cengkraman Wheein. "Jangan merusuh, Bodoh! Bukankah tadi kamu menggodanya, lalu kenapa sekarang malah cemas?"

"Diamlah, Hwasa! Aku sedang memperhatikan mereka!" sahut Wheein yang makin menenggelamkan separuh wajahnya di balik lengan Hwasa.

Sang Dokter mulai meraba luka memar Jimin yang tampak makin parah, kemudian sesekali ia tekan dan membuat sang empu harus menahan rintihan. Tak lama setelah itu, sang Dokter pun menarik lengkung bibir ke atas, entah apa artinya yang jelas Jimin justru waswas akan kesembuhannya.

"Baik, Anda boleh bergabung dengan kedua teman Anda," tutur sang Dokter.

Jimin menghampiri kedua sahabatnya, ia coba melawan segala ketakutan segala keraguan di dada, sekalipun menyekiknya. Hwasa pun bangkit dari duduk, menepuk-tepuk punggung kursi dan membiarkan Jimin mengistirahatkan tulang ekornya di sana.

"Jadi bagaimana, Dokter?" tanya Wheein coba membuka pembicaraan.

"Begini, kakinya membengkak karena saat awal cidera tidak langsung diberi pertolongan pertama dan justru dipaksa beraktivitas tinggi," sang Dokter menjeda, kemudian melempar pandang pada Jimin yang tampak makin waswas, "omong-omong, apa aktivitas Anda akhir-akhir ini?" lanjutnya.

"Menari, Dokter," jawab Jimin.

"Begitu, ya?"

"Saya tetap boleh menari, 'kan, Dokter?"

"Tentu saja boleh. Akan tetapi, sementara waktu Anda diharuskan beristirahat total."

"Kira-kira, berapa lama waktu yang diperlukan, Dokter?"




















TBC
Jimin ... semoga lekas sembuh, ya, Tampan! T^T
Kalian semua juga, semoga sehat selalu!

Bless by Street | HWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang