24 | FEAR

126 23 32
                                    

"Jimin, apa kamu cidera saat menari?" Pertanyaan tersebut seakan menampar pipi Jimin berkali-kali, menyadarkannya akan kemalangan yang terjadi pada kaki bagian kiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Jimin, apa kamu cidera saat menari?" Pertanyaan tersebut seakan menampar pipi Jimin berkali-kali, menyadarkannya akan kemalangan yang terjadi pada kaki bagian kiri.

Pandangan Jimin jatuh lagi, menatap lekat-lekat kaki yang kini memar pun membengkak dengan nyeri yang sesekali datang menghampiri, kedua tangannya mengepal kuat sekali demi menghentikan bibir terbuka untuk memaki diri sendiri di depan dua wanita dengan tatapan pedih.

Melihat sahabatnya menahan perih, Wheein menggerakkan satu tangan ke belakang tubuh Jimin, mengelus dan sesekali menepuk pelan, sedang tangan satunya lagi memegang kepalan tangan Jimin.

Betapa keduanya mengetahui bahwa Jimin sangat mencintai pekerjaannya sebagai penari, seakan seluruh hidupnya hanya diisi oleh menari, menari, dan menari.

Intinya, Jimin sangat benci saat dirinya tak bisa menggerakkan tubuh bersama alunan melodi yang akan melebur bersama menjadi suatu keindahan miliknya sendiri.

"Jimin .... " lirih Wheein, coba merenggut atensi pria di hadapannya yang sedang berkelana pada belahan dunia bagian lain.

Tanpa disadari oleh dirinya sendiri, genangan di pelupuk mata pun lolos tak terhenti. Saat menyadari cairan bening membasahi kedua bongkah pipi, dengan tergesa Jimin mengusap kasar keduanya, hingga timbul suara gesekan yang cukup memilukan untuk didengar.

"Jangan ditahan. Hanya karena kamu seorang pria, bukan berarti kamu tidak diperbolehkan untuk merasa sedih dan menangis." Alih-alih menunggu jawaban dari sang lawan bicara, Hwasa menjeda dan menghembuskan napas pelan, "menangislah, itu bukan masalah besar!" lanjutnya.

Berkat perkataan Hwasa pun genggaman tangan serta tepukan pada punggung dari Wheein, cairan bening dari balik kaca mata hitam itu membasahi pipi Jimin lagi, kali ini lebih deras dari yang tadi.

Bahu Jimin bergetar, terdengar pula isakan kecil di sela-sela tangisan. Semakin intens tepukan yang diterima pada punggungnya, semakin terasa pula getaran bahu Jimin dan membuat kekhawatiran Wheein meningkat.

"Menangislah," tutur Wheein sembari menyandarkan kepalanya pada bahu Jimin yang bergetar hebat.

Tidak ada yang mampu menyalahkan tangisan seseorang, manusia biasa dengan segala kekuatan tentu juga memiliki beberapa kelemahan. Tangis pun tak menentukan kelemahan seseorang.

Beberapa menit berlalu dengan hanya suara isak tangis Jimin yang mengisi keheningan malam ini. Salah satu dari ketiga sosok pria hebat dengan tangis tak terbendung membuat hati Wheein pun Hwasa bagai tersayat sembilu.

"Apa kamu tidak ingin pergi ke dokter?" tanya Hwasa.

Jimin masih tak bergeming, bibirnya tampak menebal akibat tangis yang sedari tadi tak kunjung berhenti.

Bless by Street | HWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang