Hwasa beberapa kali mendesis, rasa-rasanya pembuluh darah pada pergelangan tangannya terhenti. Cengkraman Kwangsu cukup jelas membekas merah yang kali ini diusap lembut oleh sang puan, berharap rasa sakit mereda sedikit demi sedikit.
Hatinya tak lagi sakit, mengingat lawan yang kini duduk manis di bangku kemudi. Tak mampu ia pungkiri, betapa tampannya lelaki berbadan kekar dengan kumis tipis memberi bumbu maskulin, sempurna sekali.
Kilas balik teramat manis menghantuinya saat ini, pun potret-potret romantis mulai terbakar habis. Hwasa melempar pandang ke arah luar jendela, mengamati kota dari balik mobil tempat mereka memadu kasih.
Hwasa baru menyadari bahwa kilas baliknya berhenti. Tak lagi mendapati bayangan mereka pada sepanjang jalan, pun sudut kota ini. Seketika matanya basah lagi, tak menyangka akan secepat ini melupakan rangkaian rasa empat tahun terakhir.
"Ini semua karenamu!" hardik Kwangsu.
Hwasa tak menggubris, percuma menangkup lelehan magma dari kepala, hanya akan mendambah luka. Bunga yang tadinya bermekaran telah menguncup kembali, perihal rasa memang tak tertandingi, hingga kini rasanya benar-benar mati.
Hening semakin menjadi-jadi, hingga mobil berhenti di ujung gang sepi. Hwasa paham betul keadaan semacam apa dan apa yang akan menimpanya setelah ini, ia coba menarik napas sedalam mungkin, menyiapkan diri.
"Apa maksud ucapanmu di kafe tadi?" tanya Kwangsu, sedikit meninggikan nada bicara.
"Jangan membuang waktu hanya untuk pertanyaan semacam itu!" tegas Hwasa.
Umumnya mobil beralat pendingin yang berfungsi dengan baik akan menghasilkan hawa dingin, tetapi berbeda kali ini. Hwasa jelas merasa hawa panas memenuhi seisi tempat, pun mengerang sedemikian lantang menyapu bersih ketenangan antar sesama.
Sebenarnya, Hwasa sangat menyesali perubahan posisi yang di sandang oleh lelaki dengan berang ini, lebih tepatnya menyesali si lelaki, bukan diri sendiri. Mengingat sedemikian keras ia memperjuangkan keduanya hingga tak mampu lagi merasakan rasa sakit sekalipun rupa tak dalam kondisi baik.
Lelehan magma Kwangsu berhasil menyentuh pintu pertahanan Hwasa, membuat kedua sisinya tertutup sempurna, tak lagi terbuka seperti sedia kala.
Kedua tangan Kwangsu bergerak mencengkram bahu Hwasa, lalu mendekatkan wajah mereka. "Kamu hanya milikku, Hwasa! Milikku!" Guncangan pada bahunya benar-benar menyiksa, tetapi ia merasa lega, lantaran tubuhnya bekerja secara sempurna terhadap rasa sakit yang sedang diderita.
Hwasa memantapkan niat mengatakan sesuatu yang sudah menjadi pantangan untuk diucap pada kekasih hatinya—kala itu, "teruslah bermimpi!" tegasnya.
Setelahnya, pipi Hwasa merah membekas telapak tangan, tentu saja ulah Kwangsu yang telah terbalut emosi. Bukan main sakitnya hingga netranya basah kembali, hampir meloloskan cairan bening di pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bless by Street | HWASA
FanfictionMamamoo x BTS [on going] "Apa arti kehidupan bagimu?" "Kehidupan? Menarik." Diberkatilah hidupmu dengan segala bentuk lika-likunya. Perangilah segala bentuk nyata yang memaksamu untuk lupa padamu yang sesungguhnya. - Maria Hwasa, wanita dengan sega...