-11-

1.5K 151 0
                                    

Happy reading

***

“Kurang ajar! Ini semua gara-gara kamu!” Aksa menghardik, dia memukuli Rendy dengan buku yang tebal.

“Apaan, sih? Datang-datang main pukul sembarangan! Aku salah apa lagi? Masih cemburu soal Romy?”

“Lebih dari itu!”

Rendy berlari menghindari amukan Aksa. Mereka berdua mengitari kelas seperti anak kecil. Teman-teman mereka sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Aksa dan Rendy walau terkenal pintar, tapi tak jarang mereka saling berdebat.

“Film yang kamu rekomendasiin itu ternyata nggak sesuai harapan! Penipuan itu namanya!"

“Film apa, sih? Jangan mukul dulu! Tenangkan hati, tenangkan pikiran, minum air biar waras, sana!”

Aksa berhenti, dia duduk di bangku sembari menjernihkan pikiran.

“Film apa? Aku salah apa, Tuan?” tanya Rendy.

“Nggak usah ngegombal! Ini semua gara-gara kamu!”

“Salah gimana? Coba cerita, jangan puku dulu! Sakit, tahu….” Rendy ikut duduk di samping Aksa, tangan kirinya mengelus kepala yang menjadi korban.

“Kamu bilang kalau film itu film keluarga, yang tokoh utamanya penyandang tunagrahita. Tapi isinya nggak gitu, itu film pertempuran yang ada adegan panasnya!”

“Terus, masalahnya dimana?”

Sekali lagi Aksa mendaratkan sebuah pukulan telak di kepala Rendy. “Yang nonton itu Bintang, bego! Dia nonton itu! Pikirannya udah tercemar!”

“Kamu yang salah, dong! Ngapain ngasih film yang begituan sama dia?!”

“Kan kamu yang bilang kalau itu film keluarga!!!” Aksa mendesis.

“Gitu, ya?”

“Nyebelin banget, sih?!”

“Emang Bintang kenapa? Dia kepo?”

“Lebih parah! Dia minta dicium!”

Rendy terbahak. Aksa menatapnya horor.

“Maaf, maaf. Refleks ketawanya.” Rendy bedeham. “Kamu cium dia?”

“Gitu, deh.”

“Kok gitu? Kamu ciuman sama dia, ya?”

“Nyium adek sendiri emang salah?”

Raut wajah Rendy berubah, agak sedikit menggoda. Dia menyikut lengan Aksa, berdehem berlebihan.

“Bintang itu adek aku. Ciuman sama dia itu wajar!”

“Emang kamu ciumnya dimana?”

“Kepo!”

“Bibir, ya?” Alis Rendy terangkat berkali-kali. Aksa jadi ingin membabi buta lagi, memukul dengan sadis.

“Pokoknya semua itu gara-gara kamu!”

“Jadi beneran? Kamu cium dia di bibir?”

“Mulutnya! Ember banget!”

Rendy berdecak tidak percaya, dia berdiri lantas mondar-mandir sok dramatis. Rendy menutup mulutnya karena tercengang. Sangat berlebihan, memang.

“Kenapa aku punya teman kayak dia, ya?”

***

Entah kenapa setiap bertemu Bintang, Aksa langsung teringat dengan acara ciuman kemarin. Bibir mereka hanya bertemu saja, tidak melakukan apa-apa. Sensasinya sangat berbeda dari yang dulu. Ada getaran yang Aksa rasakan saat merasakan bibir Bintang.

“Kamu kenapa? Berantem sama Sita?” Bu Mala bertanya. Dia sedang menyiapkan makan malam. Bintang masih berada di dalam kamar sedangkan Pak Wiryo sedang menonton TV.

“Ma, aku mau nanya.”

“Tanya aja.”

“Hm… menurut Mama, kalau aku nyium Bintang itu masih normal, nggak?”

Bu Mala menatap sebentar, setelah itu kembali bergerak menyiapkan piring. “Dia adek kamu, kan?”

“Iya, Ma.”

“Ya itu wajar. Kamu kan, Abangnya.”

Aksa masih tidak tenang, pertanyaannya belum mendetail. Aksa ingin tahu reaksi ibunya saat mengetahui jika mereka berciuman di bibir. Tapi Aksa takut untuk bertanya seperti itu. Dia takut menciptakan peperangan di dalam keluarganya.

Aksa resah sekali, dia seperti telah melakukan kejahatan. Aksa menyalahkan dirinya sendiri untuk kasus kali ini. Dia yang salah, ceroboh dalam memberikan konten kepada Bintang.

“Ma.”

“Apa?”

“Bintang sering nyium aku.”

“Emang kenapa? Dulu kamu juga begitu.”

“Tapi itu dulu, Ma. Aku agak nggak enak kalau terus dicium sama dia. Gimana kalau orang lain yang lihat?”

“Emang kenapa kalau orang lain yang lihat? Kamu malu?”

Aksa menggeleng. Tidak seperti itu. Aksa tidak pernah malu karena mempunyai adik seperti Bintang, Aksa menyayangi Bintang apa adanya. Aksa hanya cemas jika orang lain salahpaham akan perlakuan Bintang kepadanya. Apalagi kalau Sita yang melihatnya, dia pasti marah.

Kemudian, Bintang muncul bersama sang papa. Dia langsung memeluk Aksa dengan erat. Bu Mala dan Pak Wiryo yang melihat itu tersenyum bahagia.

“Bintang sayang Abang," lirih Bintang.

“Iya. Aku juga sayang.”

“Bintang sayang Papa juga, kan?” Pak Wiryo menginterupsi.

“Bintang sayang Papa, sayang Mama juga. Tapi Bintang sayang Abang lebih.”

“Eh? Kenapa sayangnya lebih ke Aksa?” tanya Bu Mala.

“Karena Abang baik, Abang banyak ajarin Bintang. Abang sayang sama Bintang.”

Aksa berdeham. “Semuanya juga baik, semuanya juga sayang Bintang. Nggak ada bedanya.”

Bintang merengut. “Beda. Abang beda.”

“Beda kenapa?”

“Karena Bintang sayang Abang.” Bintang terkekeh. Bibirnya mengecup pipi Aksa singkat.

Aksa menatap kedua orang tuanya, keduanya terlihat biasa saja. Seakan semuanya dalam keadaan yang normal. Mungkin Aksa tidak akan terbebani akan hal itu, tetapi dia mempertanyakan mengapa jantungnya berdegup jika Bintang menciumnya? Padahal Bintang itu adalah adiknya.

Apa Aksa terlalu berlebihan?




TBC

Little Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang