BAB 1 (MENUNGGU, MENERKA, MEMENDAM)

26 9 0
                                    

1.4. MOODBOOSTER

“Ya ampun, Steve. Kenapa kamu terlambat lagi hari ini?” tanya Pak Heri setelah menoleh ke arah lelaki yang baru saja berjalan dari pintu.

“Maaf, Pak. Kesiangan bangun,” jawab Steve polos sambil mengikat tali sepatu. Mungkin dia tak sadar kalau semua mata saat itu memandangnya. Jelas saja, ini bukan kelasnya. Apa maksudnya dia di sini?

Pak Heri menyuruhnya berlari mengelilingi lapangan sebanyak 5 kali sebagai hukuman karena dia datang terlambat dan tidak mengikuti pemanasan. Teman-teman menertawakannya, dan mungkin hanya Aurie yang merasa gelisah. Entah berapa kali ia berharap agar Steve tidak melihatnya.

“Kak, ini kelas sepuluh,” ujar Joce setelah Steve selesai berlari.

Steve menghentikan tegukannya tiba-tiba dan melihat ke sekeliling lapangan. Dia tidak terlihat kaget. Bahkan ia melanjutkan minumnya dan menghabiskan setengah dari air yang ada di tumbler-nya. Sesekali Aurie dapati mata Steve tak sengaja bertatapan dengannya yang sedang mendengar penjelasan dari Pak Heri.

“Baiklah, sekarang kalian latihan berkelompok 5 orang,” ujar Pak Heri menutup penjelasannya. Seluruh murid berdiri dan segera membentuk kelompok.

“Kamu harusnya di lapangan 3,” jelas Pak Heri sambil menyimpan bukunya di meja yang terletak di ujung lapangan tempat Steve duduk. Aurie berusaha mengalihkan perhatian dari Steve. Namun nihil, tetap saja dia menoleh pada Steve berkali-kali. 

“Kalau Pak Garry tanya, bilang saja saya yang suruh kamu kesini,” kata Pak Heri sebelum Steve meninggalkan lapangan. Aurie cukup yakin Steve punya hubungan yang dekat dengan Pak Heri. Buktinya, Pak Heri berusaha menyelamatkan Steve dari hukuman Pak Garry, guru olahraga yang katanya killer.

Steve akhirnya meninggalkan lapangan dan kembali ke tempat yang seharusnya. Aurie cukup lega, akhirnya dia bisa fokus pada sisa waktu pembelajaran.

Bel istirahat kedua berdering. Seantero sekolah seketika menjadi riuh dan Aurie putuskan untuk diam di kelas. Lima menit kemudian teman Aurie – Jo – kembali dari kantin dan tiba-tiba menyimpan satu buah susu rasa coklat di atas meja Aurie.

Aurie menoleh menatap bangku kedua di belakangnya, “Jo, ini apaan?”

“Susu coklat, lah,” jawab Jo sambil mengunyah roti yang baru ia beli di kantin.

Aurie memutar bola matanya. “Ya, maksudnya dari siapa?”

“Dari tante kantin.”

Spontan dahinya berkerut. Tante kantin mana yang memberikan susu coklat dengan cara seperti ini. Aurie bahkan tidak memesannya. Ya sudahlah, disimpan saja dulu di tas, nanti akan ditanyakan pada tante kantin.

Setelah menempuh tiga jam pelajaran Kimia akhirnya Aurie bisa keluar dari kelas. Pulang sekolah menjadi waktu yang sangat ia nantikan sejak masuk SMA. Aurie putuskan turun melalui tangga belakang agar bisa lewat ke kantin.

Aurie menuruni anak tangga, sesekali melihat ponselnya dan tiba-tiba ia menyandung sesuatu. Spontan dia matikan ponselnya dan melihat benda apa yang tak sengaja ia sandung tadi.

“Eh, maaf, Kak.”

Iya benar, itu Steve. Lagi. Ini memang hanya perasaan Aurie saja atau Steve memang selalu ada dimanapun.

“Makanya kalau jalan jangan lihat HP terus,” ujar Steve sambil tersenyum menatap Aurie. Senyum yang sudah satu tahun jarang Aurie lihat karena mereka berbeda sekolah.

Aurie tersenyum, “Hehe, maaf.”

“Kamu mau kemana?”

“Kantin.”

RAHASIA LAMPU KOTA (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang