BAB 2 (HARAPAN, HUJAN, HATI)

15 7 1
                                    

2.5. PERMOHONAN

“Saya mohon,” ucap sebuah suara dicampur isak tangis menggemakan lorong rumah sakit yang sepi.

“Maaf, tapi, bukankah ini akan membuat dia menjadi lebih sakit?” sahut seorang lelaki. Suaranya terdengar frustasi.

Wanita tadi menutup mata, menghempaskan dirinya kasar di bangku besi. “Keadaannya memaksa. Sementara saja,” mohonnya terdengar sangat perih.

Pria yang sedari tadi mondar-mandir menghela napas berat. Menimbang segala kemungkinan yang dapat terjadi jika keadaan mendesak ini berubah menjadi jalan buntu dan menjebaknya dalam lorong waktu tak bersolusi.

“Perlahan dia harus tahu, tapi, tidak untuk saat ini, Kamu dengar katanya tadi, kan?” desak wanita tersebut mantap sembari terus terisak dan menatapnya dalam.

“Baiklah, baiklah. Berjanjilah ini tidak akan menjebak saya,” jawab pria tadi pasrah kemudian mengacak rambutnya sendiri. Dia membalikkan tubuhnya menatap insan tak berdaya di dalam ruangan disertai seluruh alat penunjang hidupnya.

Gue mohon. Kebahagiaannya bukan gue. Tapi elo.

Pikirannya semakin berkecamuk dengan perkataan pria yang terbaring lemah dalam ruang ICU. ”Gue nggak pernah percaya sama lo, tapi, gue mohon kali ini buat dia bahagia.”

Di sisi lain kota, seorang gadis mengacak surai hitam pekatnya. Entah sudah berapa lama dirinya menatap langit mendung sisa hujan tanpa pelangi di luar jendela kamarnya yang seakan mendukung suasana hatinya. Berkali-kali ia menatap layar ponselnya yang hanya menunjukkan jam dan wallpaper pemandangan miliknya. 

Pukul 22.30 WIB. Jantungnya berdegup dengan ketukan tak tentu sedari satu jam yang lalu. Desiran hebat mengalir memenuhi setiap nadinya dan napasnya tersenggal. Malam ini adalah pertama kalinya dia merasa tidak bisa tidur dan alasannya tak begitu jelas.

***

Pukul 16.00 WIB.

Suara hujan yang mengguyur Kota Kembang hari ini membuat Aurie dan Steve sedikit berteriak untuk mengobrol di atas motor. Sialnya, hujan turun saat mereka terjebak di perempatan dan lampu lalu lintas berwarna merah. Jadi, mau tidak mau keduanya harus basah bersama-sama.

“Kita ngapain ke sini?” Aurie turun dari motor tanpa diperintah oleh Steve.

“Emangnya Kakak minta kamu turun?” Steve mengangkat alisnya setelah membuka helmnya, melempar tatapan dingin nan jahilnya pada Aurie.

Aurie mengernyitkan dahinya lalu menggembungkan pipinya dan melipat tangannya di depan dada. Tingkah yang selalu membuat Steve mencubit hidungnya gemas.

“Yuk masuk,” ajaknya seraya mengacak rambut Aurie lalu mendahuluinya masuk.

Ya, mereka ada di rumah Steve sekarang. Seragam Aurie dan Steve sama-sama basah kuyup dan sepertinya Steve akan bertanggung jawab untuk ini.

“Tante,” sapa Aurie lalu salim pada Riana yang sedang sibuk di dapur.

“Kenapa kalian basah semua gini?” tanya Riana menatap Aurie dan Steve bergantian.

“Tadi kehujanan, Tante,” jawab Aurie sedikit cengengesan. Sedangkan Steve masih sibuk menggantungkan jaketnya.

Riana tertawa kecil melihat tingkah mereka. “Kamu seukuran sama Tante waktu masih muda, kok. Di kamar tamu ada baju-baju Tante yang dulu, kamu pilih aja,” ujar Riana sambil masih sibuk memasak.

“Steve antar Aurie, ya,” ucap Riana menatap Steve sambil mengedipkan satu matanya. “Jangan macem-macem kalian.”

Aurie mengucapkan terima kasih lalu beranjak mengikuti Steve ke kamar tamu.

RAHASIA LAMPU KOTA (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang